Terlambat Shalat Jumat, Harus Bagaimana?

Rabu, 30 Maret 2011

1 komentar
Assalamu’alaikum warahmatuLlahi wabarakatuh,

Saya mohon dijelaskan tentang apa yang harus saya lakukan kalau saya terlambat shalat jumat? Apakah saya shalat Jumat sendirian atau saya shalat Dzhuhur saja?

Dan sekalian juga mohon dijelaskan tentang batasan terlambat, apakah bila tidak ikut mendengarkan khutbah atau memang tidak ikut shalat, atau pada rakaat berapa?

Demikian pertanyaan saya dan terima kasih sebelumnya atas kesediaan ustadz menjawabnya.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para ulama telah bersepakat bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu rakaat bersama imam dalam shalat jumat.

Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat kedua tapi belum lagi bangun dari ruku''. Maka bila makmum itu masih sempat ruku'' bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu rakaat lagi.

Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku'' di rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk shalat zhuhur.

Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam sudah i''tidal (bangun dari ruku'') pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits Muttafaq Alaihi: Bukhari no. 580, Muslim 607).

Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau shalat lainnya, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”.

Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1161115189

Harta Waris Untuk Isteri, Dua Anak Perempuan, Seorang Saudara Laki-Laki dan Dua Orang Saudara Perempuan

Jumat, 25 Maret 2011

0 komentar
Tanya :

Saya mau menanyakan mengenai pembagian waris. Ayah meninggal, meninggalkan seorang isteri dan dua anak perempuan. Saudara sekandung ayah adalah sbb : 1 orang kakak laki-laki dan 3 orang saudara perempuan. Ayah meninggalkan harta berupa satu rumah dan harta uang kurang lebih Rp 5 juta. Mohon ustadz memberikan arahan pembagian warisnya. Terimakasih. Wassalaam. ( shantidamai@yahoo.com )

Jawab :

Isteri dan anak perempuan merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapatkan jumlah tertentu. Dalam kasus ini bagian isteri adalah 1/8 (seperdelapan), karena yang meninggal (suami) mempunyai anak. (Shalih Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7). Dalilnya :

فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ


"Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para isteri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan..." (QS An-Nisaa` : 12).

Sedang bagian bagian dua anak perempuan tersebut adalah 2/3 (dua pertiga). Berarti masing-masing mendapat setengah dari dua pertiga. (Shalih Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 10; M. Syifa’uddin Ahmadi, Pintar Ilmu Faraidl, hal. 37). Ini sesuai firman Allah SWT :

فَإِنْ كن نساء فوق اثنتين فَلَهُنَّ ثلثا ما ترك


“Maka jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [dua ke atas], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (QS An-Nisaa` : 11).

Sedangkan 1 orang kakak laki-laki dan 3 orang saudara perempuan, merupakan ashabah yakni ahli waris yang mendapat sisa harta setelah diberikan kepada ash-habul furudh, dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua bagian anak perempuan. (Shalih Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 12 & 18; M. Syifa’uddin Ahmadi, Pintar Ilmu Faraidl, hal. 61). Dalilnya firman Allah SWT :

يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأْنُْثَيَيْنِ


"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan." (QS An-Nisaa` [4] : 11)

Bagian isteri dan dua anak perempuan jika dijumlahkan dengan menyamakan penyebutnya menjadi sebagai berikut = 1/8 + 2/3 = 3/24 + 16/24 = 19/24. (sembilan belas per dua puluh empat).

Jadi bagian isteri adalah 3/24 (tiga perduapuluh empat). Sedang bagian dua anak perempuan secara bersamaan = 16/24. Maka bagian satu anak perempuan adalah setengah dari 16/24 atau sama dengan 8/24 (delapan perduapuluh empat).

Sedangkan saudara-saudara kandung dari yang meninggal (yaitu 1 orang kakak laki-laki dan 3 orang saudara perempuan) mendapat harta sisa, karena mereka adalah ashabah. Mereka mendapat sisa harta yaitu sebesar = 1 – 19/24 = 24/24 – 19/24 = 5/24 (lima perdua puluh empat).

Selanjutnya bagian 5/24 ini dibagi lagi untuk masing-masing dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua bagian anak perempuan. Maka bagian seorang kakak laki-laki adalah 2/5 (dua perlima), dan bagian 3 saudara perempuan secara bersama adalah 3/5. Bagian untuk satu saudara perempuan adalah 1/5 (seperlima).

Jadi bagian waris untuk seorang kakak laki-laki adalah 2/5 dari 5/24 = 2/5 X 5/24 = 10/120 = 1/12 (seperdua belas) atau sama dengan 2/24 (dua perdua puluh empat).

Bagian untuk 3 saudara perempuan secara bersamaan sebesar = 3/5 dari 5/24 = 3/5 X 5/24 = 15/120. Jika 15/120 dibagi 3 untuk masing-masing, maka bagian seorang saudara perempuan adalah sepertiga dari 15/120 = 1/3 X 15/120 = 15/360 = 1/24. (satu perdua puluh empat).

Jadi, berdasarkan seluruh perhitungan di atas, maka bagian isteri sebesar 3/24, bagian anak perempuan pertama sebesar 8/24, dan anak perempuan kedua juga 8/24. Sedang bagian saudara laki-laki adalah 2/24, dan bagian saudara perempuan yang berjumlah tiga orang masing-masingnya sebesar 1/24. (Penyebut disamakan menjadi 24 untuk memudahkan perhitungan dan pengecekan).

Harta waris berupa rumah dapat dijual terlebih dahulu untuk menyederhanakan perhitungan. Atau jika tidak dijual, rumah itu dirupiahkan (ditaksir nilainya dalam rupiah) lebih dahulu untuk memudahkan perhitungan. Misal rumah tersebut ditaksir seharga Rp 140 juta. Jika ditambah uang tunai Rp 5 juta, maka nilai total harta waris adalah sebesar Rp 145 juta.

Total harta sebesar Rp 145 juta itu tidak langsung dibagi, tapi dipotong lebih dahulu untuk membayar pembiayaan penguburan jenazah, wasiat harta kepada pihak non ahli waris (jika ada), dan membayar utang dari yang meninggal, misalnya zakat mal yang belum dibayar, atau utang kepada teman, dan lain-lain.

Misalkan biaya penguburan jenazah sebesar Rp 5 juta, wasiat harta tidak ada, utang juga tidak ada. Maka Rp 145 juta dikurangi lebih dulu Rp 5 juta, sehingga tersisa Rp 140 juta. Maka sisa harta Rp 140 juta inilah yang kemudian dibagi kepada masing-masing ahli waris sesuai bagian masing-masing seperti perhitungan di atas.

Maka jumlah nominal yang menjadi hak isteri adalah 3/24 X Rp 140 juta = Rp 17.500.000. Bagian dua anak perempuan masing-masing sebesar 8/24 = 8/24 X Rp 140 juta = Rp 46.666.666,-

Sedang bagian saudara laki-laki adalah 2/24 = 2/24 X Rp 140 juta = Rp 11.666.666. Adapun bagian saudara perempuan yang berjumlah tiga orang masing-masingnya sebesar 1/24 = 1/24 X Rp 140 juta = Rp 5.833.333.

Demikianlah pembagian warisnya. Wallahu a’lam.

Sumber: http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=801&Itemid=33

Bagian Waris Untuk Seorang Isteri, Satu Anak Perempuan, dan Dua Anak Laki-Laki

Selasa, 22 Maret 2011

0 komentar
Tanya :

Seorang laki-laki meninggal dengan para ahli waris sebagai berikut : seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Harta warisnya senilai Rp 80 juta. Mohon bantuan Ustadz menghitung bagian ahli waris masing-masing. (FW, Rancaekek).

Jawab :

Dalam hukum waris Islam, isteri merupakan ash-habul furudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris dalam jumlah tertentu. Isteri mendapat 1/4 (seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyai anak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyai anak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah fil Faraidh, hal. 7).

Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian isteri adalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an :

فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ


"Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para isteri itu memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan..." (QS An-Nisaa` : 12).

Sedangkan seorang anak perempuan dan dua anak laki-laki adalah ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikan lebih dulu kepada ash-habul furudh.

Ketiga anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8 (tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangi bagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).

Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagi kepada ketiga anak tersebut dengan ketentuan bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuai dalil Al-Qur`an :

يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِيْ أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأْنُْثَيَيْنِ


"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An-Nisaa` [4] : 11)

Maka bagian anak perempuan tersebut (misalkan namanya A) = 1 bagian. Bagian anak laki-laki pertama (misal namanya B) = 2 bagian, dan bagian anak laki-laki kedua (misalnya namanya C) = 2 bagian. Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 5 bagian (dari penjumlahan 1 + 2 + 2). Atau penyebutnya adalah 5.

Jadi bagian A= 1/5 dari 7/8 = 1/5 X 7/8 = 7/40 (tujuh perempatpuluh). Bagian B = 2/5 dari 7/8 = 2/5 X 7/8 = 14/40 (empat belas perempatpuluh). Bagian C sama dengan bagian B = 2/5 X 7/8 = 14/40 (empat belas perempatpuluh).

Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian isteri = 1/8 X Rp 80 juta = Rp 10 juta. Bagian A (anak perempuan) = 7/40 x Rp 80 juta = Rp 14 juta. Sedang bagian B dan C (dua anak laki-laki) masing-masing = 14/40 x Rp 80 juta = Rp 28 juta.

Demikian perhitungan warisnya. Semoga bermanfaat.

Sumber: http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=800&Itemid=33

Denda Karena Terlambat Bayar Utang, Bolehkah?

Minggu, 20 Maret 2011

0 komentar
Tanya :

Ustadz, apa hukumnya denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang?

Jawab :

Dalam fiqih kontemporer denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang disebut al-gharamat at-ta`khiriyah atau al-gharamat al-maliyah. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, Maa Laa Yasa’u at-Tajir Jahlahu, hal. 279 & 335; Ali as-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 458).

Para ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian membolehkan dan sebagian lagi mengharamkan. Yang membolehkan antara lain berdalil dengan sabda Nabi SAW,"Tindakan menunda pembayaran utang oleh orang kaya adalah suatu kezaliman." (HR Bukhari). Juga sabda Nabi SAW,"Tindakan orang mampu [menunda pembayaran utangnya] telah menghalalkan kehormatannya dan sanksi kepadanya." (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa`i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim).

Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini menjadi dalil jika orang yang mampu menunda pembayaran utangnya maka ia berhak mendapatkan hukuman, termasuk hukuman denda. Namun mereka menetapkan dua syarat. Pertama, denda ini tidak boleh disyaratkan di awal akad, untuk membedakannya dengan riba jahiliyah (riba nasi`ah). Kedua, denda ini hanya dikenakan bagi yang mampu, tak berlaku bagi yang miskin atau dalam kesulitan. (QS Al-Baqarah : 280). (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 337).

Sedang pihak yang mengharamkan berdalil denda semacam ini mirip dengan riba jahiliyah (riba nasi`ah), yaitu tambahan dari utang yang muncul karena faktor waktu/penundaan. Padahal justru riba inilah yang diharamkan saat Al-Qur`an turun (QS Al-Baqarah : 275). Maka apapun namanya, ia tetap riba, baik diambil dari orang yang mampu atau tidak, baik disyaratkan di awal akad atau tidak. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338).

Pendapat yang rajih adalah yang mengharamkan. Alasannya : Pertama, meski orang mampu yang menunda pembayaran utang layak dihukum, tapi tak pernah ada sepanjang sejarah Islam seorang pun qadhi (hakim) atau fuqaha yang menjatuhkan hukuman denda. Padahal kasus semacam ini banyak sekali terjadi di berbagi kota di negeri-negeri Islam. Jumhur fuqaha berpendapat hukumannya adalah ta’zir, yaitu ditahan (al-habs) meski sebenarnya boleh saja bentuk ta’zir lainnya. (Abdullah Mushlih & Shalah Shawi, ibid., hal. 338; Ali As-Salus, ibid., hal. 449).

Hal itu karena sudah maklum bahwa pemberi utang hanya berhak atas sejumlah uang yang dipinjamkannya, tidak lebih. Baik ia mendapatkannya tepat pada waktunya atau setelah terjadi penundaan. Tambahan berapa pun yang diambilnya sebagai kompensasi dari penundaan pembayaran tiada lain adalah riba yang diharamkan. (Ali As-Salus, ibid., hal. 449).

Kedua , denda karena terlambat membayar utang mirip dengan riba, maka denda ini dihukumi sama dengan riba sehingga haram diambil. Kaidah fiqih menyebutkan : Maa qaaraba al-syai’a u’thiya hukmuhu (Apa saja yang mendekati/mirip dengan sesuatu, dihukumi sama dengan sesuatu itu). (M. Shidqi Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, 9/252). Kesimpulannya, menjatuhkan denda karena terlambat membayar utang atau angsuran utang hukumnya haram karena termasuk riba. Wallahu a’lam.

Sumber: http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=799&Itemid=33

Bekas Sujud di Dahi

Kamis, 17 Maret 2011

0 komentar
Assalamu ''alaikum, Ustadz.

Mohon dijelaskan maksud bekas sujud di dahi, adakah memang warna kehitaman yang membekas, ataukah sesuatu yang bersfiat abstrak saja.

Lalu apakah keutamaan-keutamaan dari bekas sujud yang ada di dahi seseorang? Apakah hal itu menunjukkan pemiliknya seorang yang beriman dan bertaqwa?

Demikian pertanyaan kami, semoga pak Ustadz selalu berada dalam lindungan Allah SWT. Amien.

Wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

''Bekas sujud'' di dahi adalah sebuah istilah yang bisa kita dapat di dalam ayat Al-quran. Silahkan anda buka mushaf dan carilah surat ke-48, yaitu surat Muhammad dan perhatikan ayat yang ke-29.

Di sana Allah SWT berfirman:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku'' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud . Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil. (QS. Muhammad: 29)

Kalau kita perhatikanisi informasi ayat di atas, istilah ''bekas sujud'' bukan hanya populer di dalam Quran, melainkan juga ada di dalam kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Injil, yang asli tentunya.Dan ''bekas sujud'' itu menjadi ciri khas para shahabat nabi Muhammad SAW.

Namun ada hal yang perlu digaris-bawahi secara hati-hati. Sebab banyak di antara umat Islam yang kemudian memahami ayat ini secara harfiyah. Bekas sujud itu kemudian dipahami sebagai warna kulit yang kehitaman di dahi seseorang.

Apakah memang benar? Dan apakah warna kehitaman di dahi itu selalu menunjukkan keimanan dan ketaqawaan seseorang?

Nah, di sini kita harus sedikit lebih cermat. Memang bisa saja karena seseorang banyak melakukan shalat, termasuk shalat malam, maka secara tidak sengaja, dahinya jadi berwarna kehitaman. Tentu hal ini baik, bukan sekedar karena dahinya berwarna hitam, tetapi karena memang banyak shalat.

Namun kalau secara sengaja ditekan-tekannya dahinyake lantai, agar bisa membekas dan akhirnya berwarna kehitaman, tentu lain urusannya. Sebab esensi ayat itu bukan para warna hitam di dahi, melainkan karena banyaknya shalat.

Dan banyak shalat itulah yang ingin dikemukakan oleh ayat ini, yakni bahwa mereka adalah orang yang sering dan banyak melakukan shalat. Dan disebutkan dengan istilah bekas sujud, karena sujud itu identik dengan shalat, ditambah lagi sujud itu selalu dilakukan 2 kali dalam satu rakaat. Padahal semua gerakan yang lain hanya dilakukan 1 kali saja.

Namun perlu ditekankan bahwa orang yang dahinya jadi kehitaman memang karena banyak melakukan sujud itu salah. Insya Allah dia akan mendapatkan keutamaan karena banyak shalatnya.

Hanya yang perlu dipahami adalah warna kehitaman di dahi itu tidak selalu menunjukkan bahwa orang itu banyak shalat. Dan juga belum tentu ada jaminan bahwa shalatnya itu pasti diterima Allah SWT. Dan bukan juga lambang dari ketaqwaan seseorang.

Malah kita harus hati-hati dalam masalah dahi hitam ini, sebab alih-alih mendapat pahala, boleh jadi kalau diiringi dengan rasa sombong dan riya'', malah akan jadi bumerang.

Bukankah Allah SWT telah berfirman tentang celakanya orang yang shalat namun lalai dan berperilakuriya''. Dan salah satu pintu riya'' dari ibadah shalat ini adalah memamerkan dahi yang berwarna kehitaman itu di depan manusia. Lalu seolah berbangga bahwa dirinya adalah orang paling dekat kepada Allah serta selalu paling benar dalam semua hal.

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. (QS. Al-Maun: 1-3)

Bekas Sujud Akan Nampak di Akhirat

Kita menemukan hadits yang shahih terkait dengan fungsi ''bekas sujud'' ini. Namun manfaatnya bukan untuk dikenal orang di alam dunia ini, melainkan untuk bisa dikenali Allah SWT di akhirat nanti.

Jika Allah ingin memberikan rahmat kepada ahli neraka, maka Dia memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan mereka yang menyembah Allah. Lalu malaikat mengeluarkan mereka. Mereka dikenali karena ada bekas sujud pada wajahnya. Dan Allah mengharamkan neraka untuk memakan tanda bekas sujud sehingga mereka keluar dari neraka. Seluruh anak Adam bisa dimakan api neraka, kecuali bekas sujud. (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa orang yang shalatnya baik di dunia ini dan punya bekas sujud, nanti di akhirat kalau sudah terlanjur masuk neraka, akan dikeluarkan dari dalamnya. Dan cara untuk mengenalinya adalah dari cahaya bekas sujud yang memancar dari dahinya.

Dan bahwa cahaya bekas sujud itu tidak akan hilang termakan oleh panasnya api neraka.

Adapun bekas sujud yang sifatnya seperti cahaya di akhirat nanti, kita dapati keterangannya dari hadits lainnya berikut ini.

Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada seorang pun dari umatku kecuali aku mengenalnya pada hari kiamat kelak." Para shahabat bertanya, "Ya Rasulallah, bagaimana anda mengenali mereka di tengah banyaknya makhluk?" Beliau menjawab, "Tidakkah kamu lihat, jika di antara sekumpulan kuda yang berwarna hitam terdapat seekor kuda yang berwarna putih di dahi dan kakinya? Bukankah kamu dapat mengenalinya?" "Ya", jawab shahabat. "Sesungguhnya pada hari itu umatku memancarkan cahaya putih dari wajahnya bekas sujud dan bekas air wudhu''. (HR Ahmad dan Tirmizy)

Semoga Allah SWT menjadikan dahi kita ini memancarkan cahaya di akhirat nanti, sehingga termasuk orang yang akan dibela oleh Rasulullah SAW. Amien.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1172012271

Adzan Dua Kali di Hari Jumat

Selasa, 15 Maret 2011

0 komentar
Assalamualaikum ustadz,

Singkat saja, saya mau tanya tentang dasar syariah dari dua kali adzan pada rangkaian shalat Jumat. Kabarnya dilakukan di zaman shahabat atau khalifah Utsman bin Affan ra, tapi tidak dikerjakan dizaman Rasulullah SAW.

Jadi bagaimana kita mensikapinya? Apakah hal ini termasuk bid''ah, atau bukan? Bagaimana dengan istilah bid''ah hasanah?

Terimakasih atas bimbingannya

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar apa yang anda tanyakan, bahwa di zaman Rasulullah SAW, adzan pada shalat Jumat hanya dikerjakan sekali saja, yaitu saat khatib naik mimbar.

Kemudian pada zaman khilafah rasyidah, karena pertimbangan tertentu, maka sebelum khatib naik mimbar, jumlah adzan ditambah sebelumnya, dilakukan sebelum khatib naik mimbar dan pada saat khatib naik mimbar.

Dari As-Saib bin Yazid ra berkata, "Dahulu panggilan adzan hari Jumat awalnya pada saat imam duduk di atas mimbar, dimasa Rasulullah SAW, Abu Bakar ra dan Umar ra. Ketika masuk masa Utsman dan manusia bertambah banyak, ditambahkan adzan yang ketiga di atas Zaura.Tidak ada di zaman nabi SAW muazzdin selain satu orang. (HR Bukhari)

Zaura'' adalah sebuah tempat yang terletak di pasar kota Madinah saat itu. Al-Qurthubi mengatakan bahwa Utsman ra memerinahkan untuk dikumandangkan adzan di suatu rumah yang disebut Zaura''.

Saat itu khalifah memandang bahwa perlu dilakukan pemanggilan kepada kaum muslimin sesaat sebelum shalat atau khutbah Jumat dilaksanakan.

Menurut para ulama yang mendukung tetap dilaksanakannya dua kali adzan ini, tindakan ini tidak bisa disalahkan dari segi hukum. Karena apa yang dilakukan oleh para shahabat nabi secara formal itu tetap masih berada dalam koridor syariah. Apa yang para shahabat nabi kerjakan secara ijma'' merupakan bagian dari syariah, karena mereka sendiri juga bagian dari sumber syariah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Asy-Syaukani di dala kitab Nailul Authar mengatakan bahwa praktek adzan 2 kali ini dilakukan bukan hanya oleh Khalifah Utsman rasaat itu, melainkan oleh semua umat Islam di mana pun. Bukan hanya di Madinah, melainkan di seluruh penjuru dunia Islam, semua masjid melakukan 2 kali adzan shalat Jumat.

Dan meski tidak pernah dilaksanakan di zaman Rasulullah SAW, namun apa yang dipraktekkan oleh para shahabat secara kompak ini tidak bisa dikatakan sebagai bid''ah yang mendatangkan dosa dan siksa. Lantaran tidak semua perkara yang tidak terjadi di zaman nabi termasuk sesuatu yang buruk. (Lihat Nailul Authar jilid III halaman 278-279).

Sebab Khalifah Utsman adalah bagian dari sumber syariah dengan dalil berikut ini:

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya siapa yang hidup setelah ini, maka dia akan menyaksikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang besar. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafa'' ar-rasyidin setelahkku yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu." (HR Abu Daud, At-Tirmizy, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban)

Maka tindakan seperti itu tidak bisa dikategorikan sebagai bid''ah, karena dikerjakan oleh semua shahabat nabi SAW secara sadar dan bersama-sama sepanjang masa.

Kalau tindakan itu dikatakan bid''ah, berarti para shahabat nabi yang mulia itu pelaku bid''ah. Kalau mereka pelaku bid''ah, maka haram hukumnya bagi kita untuk meriwayatkan semua hadits. Padahal tidak ada satu pun hadits nabi yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat.

Maka seluruh ajaran Islam ini menjadi batal dengan sendirinya kalau demikian. Sebab semua dalil, baik ayat Quran maupun semua hadits nabi SAW, ternyata tidak ada yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat yang dituduh tela melakukan tindakan bid''ah itu.

Maka mengatakan bahwa adzan 2 kali sebagai bid''ah sama saja dengan mengatakan bahwa para shahabat nabi SAW seluruhnya sebagai pelaku bid''ah. Dan kalau semuanya pelaku bid''ah, maka agama Islam ini sudah selesai sampai di sini.

Yang benar, praktek adzan Jumat 2 kali ini bagian dari sunnah yang utuh dalam syariah Islam, bukan bid''ah yang melahirkan dosa dan adzab. Karena telah dilakukan secara sadar oleh semua shahabat nabi SAW radhiyallahu ''anhum.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1135085310

Shalat Tepat Waktu atau Setelah Jam Kerja?

Minggu, 13 Maret 2011

0 komentar
Assalaamu''alikum Wr. Wb.

Seorang Direktur HRD sebuah Institusi berlabel "Syariah", dalam rangka operasi disiplin pegawai, memanggil beberapa kelompok pegawai dengan masing-masing jenis pelanggaran disiplin. Dari berbagai kelompok pelanggaran disiplin, di antaranya ada pula kelompok "kesalahan" yang pada saat berlangsung operasi disiplin pulang tepat waktu (antar jam 17.00-17.15), namun selalu melakukan sholat ashar berjamaah di masjid kantor, sehingga dinilai bekerja kurang dari 8 jam karena tidak mengganti jam sholat setelah jam pulang kantor. (Setiap pegawai yang turun ke masjid kantor di catat keluar dan masuk oleh satpam atas perintah sang Direktur)

Menurut sang Bapak Direktur, seorang pegawai terikat dengan akad "ijarah" dengan perusahaan untuk bekerja 9 jam dipotong 1 jam istirahat, sehingga jam kerja bersih 8 jam. Jika pegawai melakukan sholat pada jam kerja, maka pegawai harus mengganti waktu yang digunakan untuk sholat pada jam lainnya. Jadi jika pulang kerja jam 17.00, sang pegawai melakukan sholat ashar berjamaah menghabiskan waktu 20 menit, maka paling cepat pulang jam 17.25. Jika pegawai pulang tepat waktu tanpa mengganti waktu yang terpakai untuk sholat, maka pegawai telah merugikan perusahaan. Namun sayangnya, ketentuan ini tidak pernah disampaikan sebelumnya.

Para pegawai yang dipanggil pada kelompok kesalahan ini di-"cap" oleh sang Bapak Direktur sebagai orang yang telah menggadaikan "Tuhan" untuk melanggar disiplin. Sang Bapak Direktur seakan-akan tidak peduli bahwa para pegawai pada kelompok "kesalahan" tersebut, sebenarnya lebih sering pulang malam, jauh melebihi jam kerja resmi dibandingkan pulang tepat waktu, meskipun pada saat operasi disiplin dilakukan kebetulan pulang tepat waktu.

Pertanyaan:
1. Sebagai pemeluk agama Islam yang terikat sebagai pegawai, kewajiban mana yang lebih dahulu yang harus dilakukan, sholat tepat waktu atau sholat setelah jam kerja demi kewajiban pegawai yang terikat akad "ijarah" dengan perusahaan?

2. Apakah perkataan sang Direktur dapat dikategorikan sebagai pelecehan terhadap ibadah seorang pegawai, karena setahu penulis dalam UU No.39/1999 pasal 22 dinyatakan setiap orang bebas memluk agamanya dan beribadat menurut agamanya itu dan UU No. 13/2003 pasal 153 ayat 1 dinyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja/ buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya?

3. Menurut Bapak Ustadz, tepatkah perkataan Sang Direktur yang menyatakan pegawai menggadaikan "Tuhan" karena sholat berjamaah tepat waktu pada jam kerja?

Mohon jawaban Bapak Ustadz.

Wassalammu''alaikum Wr. Wb.

Seorang Pegawai yang sedang "resah"

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dari istilah yang digunakan oleh sang direktur bahwa pekerja yang shalat dianggap ''menggadaikan Tuhan'', sudah dapat dirasakan sinisme subjektifnya terhadap shalat dan tuhan. Seorang direktur yang muslim dan ada secuil iman di dalam hatinya, pastilah tidak akan tega mengeluarkan ungkapan sekasar itu, bahkan meski para pekerjanya memang mengurangi haknya untuk shalat sekalipun.

Sebab ungkapan ''menggadaikan tuhan'' itu jelas terasa di telinga sebagai ungkapan yang terlalu memaksakan, bahkan kami menilainya sebagai berlebihan. Apalagi sampai memberlakukan hukuman hingga pemecatan segala. Tidakkah dia tahu bahwa jabatannya itu hanyalah amanah yang diberikan sementara waktu? Tidakkah dia tahu bahwa suatu saat dia akan berhenti atau diberhentikan dari pekerjaannya, cepat atau lambat? Tidakkah dia peduli dengan bawahannya yang resah akibat ulahnya yang over-acting itu?

Kami bisa merasakan keresahan Anda dan teman-teman Anda saat ini. Dan begitulah, setiap kita akan diuji oleh Allah dengan rasa takut kelaparan, kekurangan harta dan jiwa. Marilah kita maknai rasa resah ini secara positif agar iman kita kepada Allah jadi bertambah.

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqrah:155)

Rasa resah Anda itu wajar, namun barangkali itulah cara Allah mengundang Anda untuk lebih khusyu'' lagi dalam beribadah. Rasa takut dipecat itu sebenarnya sebuah motivasi yang Allah turunkan kepada Anda bahwa rizki itu urusan Allah. Si Direktur mau memecat orang karena shalat dengan alasan menggadaikan tuhan, silahkan saja. Toh dia bukan Sang Maha Pemberi rizqi. Justru diasetiap hari diberi rizki oleh Allah SWT dengan atau tanpa disadarinya.

Ketahuilah bahwa kita tidak pernah tahu lewat jalur manakah kita akan diberikan rizki dari Allah SWT. Kadangkala kita mengira sebuah jalan terlihat licin dan mulus, lalu kita yakin sekali bahwa di ujung jalan itu ada rezki kita. Namun ternyata Allah SWT tidak menghendaki memberikan rezki lewat jalan itu. Barangkali buat Allah, terlalu jauh jalan itu dan ada jalan lainnya yang lebih baik dan lebih tepat buat kita.

Janganlah berpikir bahwa rezeki anda itu ada di tangan sang direktur, namun bukan berarti bahwa anda juga boleh seenaknya saja melanggar aturan. Jalan yang terbaik adalah melakukan dialog yang terbuka, dari hati ke hati. Jangan dulu terlanjur bersu''udzdzan kepadanya. Barangkali saja niatnya baik, yaitu karena ingin mendisiplinkan anak buahnya. Namun cara dan pendekatannya masih perlu diperhalus lagi.

Pada bagian penghalusan inilah anda perlu sedikit memberikan perhatian. Cobalah pilih teman-teman yang dewasa, tidak emosional dan sedikit lebih dipandang. Sampaikan saja permohonan maaf anda dan teman-teman, bila dipandang telah melanggar aturan. Jelaskan bahwa selama ini anda memang kurang mendapat informasi yang jelas tentang bentuk-bentuk kesalahan itu. Dan berjanjilah bahwa hal itu tidak akan terulang lagi, selama aturan main dibuat sejelas mungkin, syukur bisa sebelumnya digelar dengar pendapat dengan sesama karyawan.

Cobalah buktikan kepadanya bahwa Anda dan teman-teman adalah orang muslim yang profesional, di mana amanah memang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, selama semua aturannya jelas dan transparan.

Selamat berjuang semoga Allah menyertai kita, Amien

Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1141176850

Bacaan Al-Fatihah Makmum Saat Shalat Berjamaah

Jumat, 11 Maret 2011

0 komentar
Saya langsung saja ke pertanyaan Pak Ustadz.

Saat shalat berjamaah pada 2 rakaat pertama, kapankah makmum membaca Al-Fatihah? Apakah setelah imam membaca Al-Fatihah (Saat imam membaca ayat al-guran) atau mengikuti bacaan imam saat imam membaca Al-Fatihah?

jawaban

Assalamu ''alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang anda tanyakan sesugguhnya tetap masih menjadi polemik di kalangan ahli ijtihad yang tertinggi, yaitu di kalangan empat mazhab. Secara rinci berikut ini kami sampaikan bagaimana perbedaan pendapat di tengah mereka, apa yang menyebabkannya tanpa kami mengharuskan anda memilih sesuai dengan selera kami.

Sebab pendapat mereka masing-masing ada benarnya dan sulit untu disalahkan, sehingga kalau ada teman kita yang kebetulan punya pendapat yang tidak sama dengan pendapat kita, setidaknya kita bisa lebih arif dan bijaksana dalam bersikap, toh mereka juga punya dalil.

a. Mazhab Asy-Syafi''i

Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja.

Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).

Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat. Rujuk kitab Al-Majmu, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah jilid 3 halaman 344 s/d 350.

b. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah

Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.

c. Mazhab Al-Hanafiyah

Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah.

Sehingga dalam tolok ukur mereka, membaca surat Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal tidak membaca Al-Fatihah tapi syah shalatnya. Bahkan makmum shalat dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa yang diucapkan imam.

Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran diperintahkan membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini:

QS. Al-Muzzamil: 20)

Dan sabda Rasulullah SAW:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak syah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran."(HR Muslim)

Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma nazhar, di mana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun, dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu yusuf dan Muhammad mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek.

Silahkan lihat pada kitab Addur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 415, kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 193-205322, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 110 dan kitab Tabyinul Haqaiq jilid 1 halaman 104)

Wallahu alam bishshawab, wassalam ''alaikum warahatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1191965577

Hp Berbunyi Saat Sholat

Kamis, 10 Maret 2011

0 komentar
Bagaimana sikap seseorang ketika sholat berjamaah, hp yang dikantongi berbunyi?

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sekedar menggerakkan tangan untuk mematikan alarm pada ponsel sesungguhnya tidak membatalkan shalat. Apalagi bila mengingat suara deringnya mengganggu.

Mending kalau hanya ringtone musik biasa, bagaimana kalau yang terdengar suara penyanyi lagu dangdut yang imut-imut, atau suara si Madura yang bikin geli, bisa-bisa jamaah shalat bubar semua karena terbahak-bahak.

Makanya kalau mau shalat, sebaiknya jangan bawa ponsel. Tinggalkan saja di meja kerja. Biar shalat kita khusyu'' tidak terganggu oleh deringnya.

Atau kalau terpaksa harus membawanya, jangan lupa untuk mengubahnya menjadi silent mode, atau cukup bergetar saja. Sehingga kalau pun berdering, maka tidak ada suara yang mengganggu konsentrasi jamaah shalat yang lain.

Di beberapa masjid tertentu, ada sebagian pengurus masjid yang tidak mau mengambil resiko. Mereka memasak alat pengacap sinyal ponsel. Sehingga di ruangan shalat, semua ponsel menjadi tidak bisa menerima sinyal, seolah-olah berada di luar service area.Ide ini cukup kreatif untuk memastikan tidak ada suara dering yang mengganggu.

Namun lepas dari beragam ide kreatif itu, kalau anda sedang shalat tiba-tiba ponsel anda berteriak-teriak minta diangkat, gerakkan tangan anda untuk memencet tombol untuk mematikan, atau mengubah menjadi silent.

Gerakan itu asalkan dilakukan dengan tenang, tidak berulang-ulang sampai tiga kali berturut-turut, sebenarnya tidak merusak shalat. Sebab dibandingkan dengan menggendong anak, atau melangkah untuk mengisi shaf di depannya, atau mencegah orang lewat, perbuatan itu cukup simple dan cepat.

Dan jangan sekali-kali mencoba untuk menjawabnya, apalagi bilang, "halo, maaf saya lagi sholat, nanti batal nih." Maka sebenarnya anda sudah batal.

Wallahu a''lam bishsawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1195883152

Shalat dengan Madzhab yang Mana yang Paling Sesuai dengan Nabi?

Selasa, 08 Maret 2011

0 komentar
Assamualaikum wb. Wr

Yang kami hormati dan yang kami tauladani, Ust H Ahmad.

Saya mau tanya tentang tata cara sholat dan gerakan sholat menurut Imam As-Syafi''i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki. Saya minta tolong supaya Bapak Ustadz menjelaskannya secara gamblang (sejelas mungkin).

Soalnya tata cara sholat atau gerakan sholat 4 imam tersebut pasti ada perbedaan. Di sinilah pertanyaan saya, di antara 4 imam tersebut gerakan sholat yang mana yang benar benar dari tutunan Nabi Mmuhammad SAW?

Soalnya semua gerakan itu menurut hadis nabi, kan tidak mungkin Nabi Muhammad itu gerakannya selalu berbeda beda dalam sholatnya.

Sebelumnya terima kasih ya pak atas jawabannya

Wasamualaikum wb. Wr.

jawaban

Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Pertanyaan anda ini sangat menarik dan tentunya juga mewakili sekian banyak saudara kita yang punya pertanyaan yang sama. Dan memang masalah ini seringkali menggelitik rasa ingin tahu kita. Sebab agak jarang dijelaskan secara utuh.

Karena itu mohon maaf kalau penjelasan ini dirasa agak bertele-tele dan membosankan. Namun kami maksudkan agar dapat menjawab rasa ingin tahu Anda.

Mana Yang Benar?

Kita agak kesulitan untuk menjawab pertanyaan polos ini. Mengapa kesulitan? Karena seandainya kebenaran itu jelas dan tegas, tentu tidak akan muncul beberapa versi. Pasti akan muncul satu versi saja.

Quran dan Hadits: Belum Rinci dan Sistematis Membahas Shalat

Munculnya beberapa versi teknik shalat yang ada di beberapa mazhab justru sebenarnya berangkat dari ketidak-jelasan dalil Quran dan Sunnah itu sendiri. Bukan berarti kami mengatakan bahwa keduanya tidak lengkap, tetapi masih membutuhkan pola tertentu untuk mengeluarkan hukumnya.

Seandainya di dalam Al-Quran ada petunjuk detail, lengkap, padat, rinci, sempurna dan siap pakai tentang teknis gerakan dan bacaan shalat, tentu tidak akan ada banyak variasi gerakan shalat. Demikian juga, seandainya ada satu kitab hadits yang sudah dipastikan seluruhnya shahih, lalu di dalamnya dijelaskan semua detail teknis shalat tanpa adanya dua atau beberapa hadits yang saling bertentangan isinya, maka masalahnya pasti sudah selesai.

Namun kenyataannya, semua itu tidak terjadi. Al-Quran bukanlah kitab petunjuk detail tentang shalat, begitu juga semua kitab hadits.

Beda Pendapat Untuk Menshahihkan

Bahkan hadits-hadits itu sebagian besarnya masih harus dikritisi tentang keshahihannya. Yang dishahihkan oleh Imam Al-Bukhari baru 4 ribuan hadits saja dari jutaan hadits. Sebanarnya jumlah hadits dalam kitab itu ada 7 ribuan, tapi sebagian besarnya terulang-ulang. Kalau diringkas tanpa diulang, ternyata hanya ada sekitar 4 ribuan saja.

Hadits-hadits selebihnya tidak dishahihkan oleh beliau, namun dishahihkan oleh imam yang lain. Sehingga muncul perbedaan pendapat, karena terkadang sebuah hadits dishahihkan oleh seorang muhaddits, namun muhaddits lainnya menolak keshahihannya.

Sayangnya lagi, justru yang kasusnya seperti ini sangat besar dan banyak jumlahnya. Jauh melebihih hadits yang sudah disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim.

Shahih Tapi Satu Dengan Yang Lain Masih Mungkin Bertentangan

Dan yang sudah dishahihkan itu pun ternyata bukan semuanya tentang shalat. Kalau ada sebagiannya tentang shalat, ternyata isinya juga seringkali saling bertentangan.

Maksud bertentangan adalah seperti yang anda katakan tadi. Misalnya ada hadits yang shahih menyebutkan bahwa nabi SAW shalat tangannya diletakkan di dada. Lalu ada lagi hadits shahih lainnya yang justru menyebutkan tangannya di perut, atau di bawah perut dan begitulah seterusnya.

Semua kenyataan di atas telah memustahilkan keseragaman dalam aturan shalat. Semua dalil yang kita miliki telah membawa kita kepada perbedaan bentuk teknis shalat. Meski setiap kita telah bertekad untuk mengikuti tata cara shalat nabi SAW. Tetapi hasilnya tidak pernah ada yang bisa dipastikan 100% kebenarannya. Dan sebaliknya, kita juga tidak bisa memvonis bahwa yang berbeda dengannya pasti 100% salah. Semua masuk dalam kerangka ihtimal.

Perbedaan Teknis Shalat dalam 4 Mazhab: Sebuah Keniscayaan

Dengan demikian, bila kita dapati ada 4 mazhab yang berbeda tata cara shalatnya, kita bisa maklum. Bahkan di dalam satu mazhab pun sangat besar kemungkinan terjadinya perbedaan. Boleh dibilang bahwa perbedaan itu sudah merupakan kemestian yang tidak mungkin dihindarkan.

Untuk itu pertanyaan semisal, "Mana yangbenar atau mana yang salah?", menjadi kurang relevan. Mungkin yang lebih tepat adalah, "Mana yang paling rajih (lebih kuat) istidlalnya? Dan menurut siapa?"

Boleh jadi menurut kalangan mazhab A, tata cara shalat mereka adalah yang paling shahih dan paling sesuai dengan Rasulullah SAW. Namun bisa saja menurut mazhab B, versi merekalah yang paling sesuai dengan Rasulullah SAW.

Yang menarik, meski saling berbeda, dahulu para imam mazhab sama sekali tidak pernah saling bermusuhan. Apalagi saling menjelekkan, saling tuding atau saling berghibah. Mereka adalah ulama yang sangat tidak mungkin berakhlaq serendah itu. Kedalaman ilmu mereka telah mencegah mereka terjebak ke dalam gaya arogan yang nista.

Sifat mereka jauh berbeda dengan orang zaman sekarang yang sering mengklaim diri sebagai pengikut ulama, namun perilakunya justru bertentangan dengan sifat para ulama itu sendiri.

Wallahu a''lam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabaraktuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://www.ustsarwat.com/web/ust.php?id=1169138209

Antara Shalat Jamaah di Masjid dan di Rumah bersama Keluarga

Senin, 07 Maret 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr.wb.

Ustadz kami ingin bertanya apakah keutamaan shalat jama'ah di masjid bagi laki-laki sama dengan utamanya bila berjama'ah di rumah dengan istri karena jika hanya suami yang berjama'ah di masjid sementara istri ingin pula shalat berjam'aah dirumah karena istri tidak dapat meninggalkan rumah.

Abdullah PA

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Abdullah yang dirahmati Allah swt

Berjamaah di masjid didalam melaksanakan shalat-shalat fardhu bagi seorang muslim yang berakal adalah sunnah muakkadah, bahkan ada sebagian kaum muslimin yang mewajibkannya. Hal demikian dikarenakan banyaknya hadits-hadits Rasulullah saw yang menunjukkan berbagai keutamaan dan kedudukan shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian, diantara hadits-hadits tersebut :

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Sholat berjamaah lebih utama dari sholat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat.” (muttafaq alaihi)

Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat seorang laki-laki dengan berjama'ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila dia berwudlu dengan menyempurnakan wudlunya lalu keluar dari rumahnya menuju masjid, dia tidak keluar kecuali untuk melaksanakan shalat berjama'ah, maka tidak ada satu langkahpun dari langkahnya kecuali akan ditinggikan satu derajat, dan akan dihapuskan satu kesalahannya. Apabila dia melaksanakan shalat, maka Malaikat akan turun untuk mendo'akannya selama dia masih berada di tempat shalatnya, 'Ya Allah ampunilah dia. Ya Allah rahmatilah dia'. Dan seseorang dari kalian senantiasa dihitung dalam keadaan shalat selama dia menanti palaksanaan shalat."

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata; "Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berujar "Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid." Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: "Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?" laki-laki itu menjawab; "Benar." Beliau bersabda: "Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)."

Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata,”Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Tidaklah tiga orang yang berada di suatu kampung atau desa yang tidak menunaikan sholat berjamaah disitu kecuali setan telah menguasai diri mereka, maka hendaklah kalian tunaikan sholat berjamaah. Sesungguhnya seekor srigala akan memakan kambing yang menyendiri.”

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Shalat yang dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang dan ia mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar untuk menjumpai suatu kaum yang tidak menghadiri shalat, lantas aku bakar rumah mereka."

Sedangkan uzur-uzur yang memperbolehkan seorang muslim untuk meninggalkan shalat berjamaah di masjid adalah sakit, lumpuh, hanya memiliki satu kaki atau karena situasi yang tidak memungkinkan untuk mendatangi masjid seperti : cuaca yang sangat dingin, hujan lebat, jarak rumah dengan masjid yang terlalu jauh dan sulit untuk dicapai atau yang lainnya sebagaimana apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar bahwasanya dia melakukan adzan untuk sholat pada suatu malam yang dingin, angin dan hujan kemudian diakhir adzannya dia mengucapkan,”Sholatlah kalian di rumah-rumah kalian, sholatlah kalian di rumah-rumah kalian.” Kemudian dia mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memerintahkan muadzin apabila malam begitu dingin atau hujan lebat dalam suatu perjalanan hendaklah ia menyebutkan sholatlah kalian di rumah-rumah kalian.” (HR. Muslim)

Dari hadits-hadits diatas jelaslah bahwa tidaklah sama nilainya seorang yang shalat berjamaah di masjid dengan shalat berjamaah di rumah bersama keluarganya, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar didalam “Syarh”nya.

Kalau lah seorang suami atau ayah dianjurkan untuk senantiasa shalat berjamaah di rumah bersama istri atau keluarganya maka tidaklah sampai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan membakar rumah-rumah mereka yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid.

Shalat yang terbaik bagi seorang wanita adalah di rumah-rumah mereka namun dibolehkan baginya untuk mendatangi masjid melaksanakan shalat berjamaah selama ia bisa menjaga dirinya dari hal-hal yang bisa mendatangkan fitnah terhadap orang-orang di sekitarnya.

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/keutamaan-shalat-jama-ah-di-masjid.htm

Keluar Cairan Wajib Mandi?

Sabtu, 05 Maret 2011

0 komentar
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Karena suatu hal, seringkali saya merasakan ada cairan seperti lendir keluar dari kemaluan saya. Cairan tersebut encer dan tidak seperti sperma, bisa jadi keluar lebih dari sekali dalam sehari. Apakah harus mandi wajib? Cairan tersebut najis nggak Ustadz? Oh iya..jika kita puasa sunah senin dan kamis karena terlambat bangun pas kita lagi sahur ternyata udah azan, apakah sahur kita sah? atau saat azan udah gak boleh makan lagi, batasnya jam berapa? itu aja ustad terimakasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jawab :

Wa'alaikum Salam Wr. Wb.

Cairan bening tidak kental dan lengket yang keluar ketika sedang bercumbu dengan istri/suami atau ketika membayangkan hal tersebut dalam khazanah Fiqh Islam disebut Madzi.

Cairan ini adalah Najis karena Rasulullah SAW memerintahkan agar mencuci kemaluan dari cairan tersebut dan berwudhu (tidak perlu mandi janabat).

Dari Ali bin Abi Thalib RA, ia berkata: “Aku adalah orang yang banyak mengeluarkan madzi akan tetapi aku malu untuk bertanya kepada Rasulullah SAW berkaitan hal tersebut karena alasannya putri beliau (Fatimah). Maka aku memerintahkan Miqdad bin Al-Aswad untuk menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW, beliau pun bersabda: “Hendaklah ia membersihkan kemaluannya dan berwudhu.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Imam As-Syairoji meyebutkan karena cairan tersebut (madzi) keluar dari tempat keluarnya hadats maka hukumnya seperti air kencing. (Fatawa Al-Hindiyah 1/46).

Jumhurul ulama menyatakan jika cairan madzi tersebut keluar ketika seseorang sedang melaksanakan ibadah shaum maka ibadah shaumnya tidak batal, karena tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut dan juga tidak ada Ijma (konsensus ulama). Dan juga tidak mungkin diqiaskan (dianalogikan) kepada jima (Al-Mughny Ibnu Qudamah 3/49).

Sedangkan jika saudara bangun untuk melaksanakan sahur dan mendengar adzan sudah berkumandang maka shaum tidak sah, kecuali jika saudara sahur terlebih dahulu kemudian terdengar adzan, maka saumnya sah dengan syarat, ketika saudara mendengar adzan tersebut, saudara menghentikan makan sahur.

Wassalamu`alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/28/2/keluar-cairan-wajib-mandi?.html

Hukum Donor Mata

Kamis, 03 Maret 2011

0 komentar
Ustadz, apa hukumnya donor mata dalam Islam?

Jawab :

Donor mata (at-tabarru’ bi al-‘ain, eye donation) adalah pemberian kornea mata kepada orang yang membutuhkannya (resipien). Kornea mata tersebut umumnya diambil dari mayat lalu ditransplantasikan (dicangkokkan) kepada resipien. Pengangkatan kornea mata mayat harus dilaksanakan kurang dari 6 jam sejak donor dinyatakan meninggal, dan dalam waktu 24 jam sudah harus dicangkokkan ke resipien. Meski umumnya diambil dari mayat, dimungkinkan pula kornea mata diambil dari donor yang masih hidup. (Yusuf bin Abdullah al-Ahmad, Ahkam Naql A’dha` al-Insan fi a-Fiqh al-Islami, Riyadh : 1425 H).

Hukum syar’i yang rajih (kuat) dalam masalah ini menurut kami sebagai berikut: jika donor mata berasal pendonor hidup hukumnya mubah. Jika dari mayat hukumnya haram.

Bolehnya donor mata dari orang hidup karena ada dalil syar’i yang menetapkan hak milik organ tubuh dan tiadanya risiko kematian donor mata. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan boleh secara syar’i seseorang yang masih hidup mendonorkan satu atau lebih organ tubuhnya kepada orang lain secara sukarela karena adanya hak milik orang itu atas organ tubuhnya dengan syarat tidak mengakibatkan kematian pendonor. (Abdul Qadim Zallum, Hukm al-Syar’i fi al-Istinsakh, hal. 9).

Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum kalau seseorang matanya tercongkel akibat perbuatan orang lain, dia berhak mengambil diyat (tebusan) atau memaafkan orang itu. Jika memaafkan, berarti dia menyumbangkan diyat, yang artinya dia mempunyai hak milik atas diyat. Adanya hak milik atas diyat, artinya ada hak milik atas organ tubuh yang disumbangkan dalam bentuk diyat.

Ringkasnya, bolehnya memaaafkan artinya adalah penetapan hak milik organ tubuh. Dalam hal ini telah terdapat nash-nash yang membolehkan memberikan maaf dalam qishash (QS Al-Baqarah : 178) dan berbagai diyat. Sabda Nabi SAW,”Barangsapa tertimpa musibah pembunuhan atau penganiayaan fisik, dia berhak memilih salah satu dari tiga pilihan; menuntut qishash, mengambil diyat, atau memaafkan.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1405).

Adapun jika donor mata berasal dari mayat, hukumnya haram. Alasannya ada dua: pertama, ketika seseorang meninggal, hilanglah hak miliknya atas apa pun, baik hartanya, tubuhnya, atau istrinya. Buktinya, hartanya wajib diwariskan, tubuhnya wajib dikuburkan, dan istrinya wajib menjalani masa iddah.

Maka orang yang meninggal tidak boleh lagi melakukan tasharruf (perbuatan hukum) atas tubuhnya, misalnya mendonorkan atau berwasiat kepada ahli warisnya mendonorkan organ tubuhnya. Wasiat ini tidak sah, karena merupakan wasiat atas sesuatu yang tidak lagi dimiliki. Kaidah fiqih menyatakan: Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf, tidak berhak pula memberikan izin melakukan tasharruf). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081; Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).

Kedua, mayat mempunyai kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu tidak boleh dianiaya misalnya dicincang, dicongkel matanya, dipenggal kehernya, dan sebagainya. Sabda Nabi SAW, “Memecahkan tulang mukmin yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (HR Ahmad, Malik, dan Ad-Daruquthni). Wallahu a’lam. (Ustadz Siddiq al Jawie)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/06/26/hukum-donor-mata/

Hukum Mengkonsumsi dan Bisnis Tokek

Senin, 28 Februari 2011

0 komentar
Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh

Saat ini pemburuan dan bisnis tokek sedang marak, sehingga harganya begitu tinggi. Dari informasi yang berkembang, konon ada tokek harganya bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Pemanfaatan tokek pun bermacam-macam, dikonsumsi sebagai obat dan sebagai koleksi. Untuk itu saya mau bertanya, apakah hukumnya mengkonsumsi dan mengoleksi tokek?

Wassalamu alaikum

Ahmad, Surabaya

Jawab :

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Memang benar saudaraku –rahimakallah- bahwa tahun-tahun terakhir ini tokek menjadi komoditas yang diburu orang. Hal itu tidak lain karena harga jualnya yang begitu luar biasa mahal, sebagaimana pengakuan pebisnis pada sebuah media cetak. Meskipun cukup populer dan menggiurkan, sikap hamba Allah yang konsisten pasti terdorong untuk mengkonsultasikan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui kaidah yang disarikan dari keduanya. Untuk itu, dalam mengkaji masalah ini dapat melalui tahapan berikut:

Pertama, kaidah dasar mayoritas ulama ushul menyatakan: ”al-Ashl fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla al-dalil ‘ala al-tahrim.” Artinya pada dasarnya hukum asal segala hal adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Berdasar pada kaidah yang diambil dari berbagai ayat dan hadis ini, hukum dasar dari tokek adalah halal. Masalahnya adalah, adakah dalil yang sahih dan definitif mengenai keharamannya.

Kedua, terdapat dalil yang bersifat umum tentang pengharaman setiap hal yang buruk (khabits), sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf : 157. Pengharaman itu tidak terbatas pada masalah konsumsi, tetapi juga macam-macam model pernikahan, ucapan, dan perbuatan. Begitu pula berbagai ragam transaksi ekonomi (al-Sa’di,Taisir al-Karim al-Rahman, I:305, al-Nasafi, I:395). Adapun terkait dengan konsumsi hewani, al-Qur’an justru memberikan perincian sekaligus batasan yang final –alias tidak mungkin bertambah- dengan mengatakan: ”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.(QS. Al-An’am:145). Ayat ini memang Makkiyyah, tetapi secara konsisten Allah menegaskan pembatasan pengharaman hewan pada empat hal ini pada ayat-ayat lain, yaitu al-Nahl:173 sampai surat periode Madinah al-Maidah:1 dan 3 serta al-Baqarah:173.

Ibn Qudamah meriwayatkan bahwa Ibn Abbas dan Aisyah r.a berpegang pada pemahaman yang demikian itu. Bahkan setelah membaca ayat 145 dari al-An’am itu Ibn Abbas berkata: ”Apa yang selain itu adalah halal” (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, I:1612). Korelatif dengan penegasan yang berulang sampai empat kali serta pendapat Ibn Abbas itu, Imam Malik tegas berpegang bahwa yang haram dari jenis hewan adalah empat kategori tersebut. (al-Razi, al-Tafsir al-Kabir,VII:8). Konsekuensinya bila ada hadis sahih yang berindikasi pengharaman, maka harus dipahami bahwa hukumnya maksimal adalah makruh, kecuali bila berakibat madharrat (membahayakan kesehatan). Oleh karena itu, dalam madzhab Imam Malik tokek adalah halal dan boleh dikonsumsi dengan syarat disembelih secara syar’i (al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil , I:483)

Ketiga, tak terbantahkan bahwa terdapat hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dan juga para imam hadis, di mana Rasulullah menganjurkan untuk membunuh tokek. Nabi bersabda: ”Barang siapa yang membunuh tokek dengan sekali pukul, maka ia mendapatkan pahala seratus kebaikan, dan bila ia membunuhnya pada pukulan kedua, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan bila pada pukulan ketiga, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu." (HR.Muslim). Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari, Ummu Syuraik r.a mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh tokek. Berdasar pada hadis ini jumhur ulama yaitu Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan, bahwa tokek -yang termasuk dalam hewan melata (hasyarat)- adalah hewan yang haram dikonsumsi. Alasannya, (a) karena Nabi menyuruh untuk membunuhnya, (b) tokek termasuk hewan melata yang berkategori hal-hal yang buruk (khabaits) sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf:157. (Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, III:508, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,XVII:297) serta (c) Nabi menamainya fuwaisiq (hewan kecil yang jahat), sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari. Namun, sungguh sulit diterima akal adanya tambahan jenis hewan yang dilarang dengan hukum haram setelah empat kali ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa yang haram hanya empat kategori sebagaimana di atas. Sebab, adanya tambahan berarti inkonsistensi terhadap pernyataan pembatasan yang sangat kokoh dengan diulang empat kali dalam al-Qur’an.

Oleh karena itu saya pribadi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa hukum mengonsumsi tokek adalah halal tapi makruh, demikian pula dengan menjualnya. Adapun memelihara apalagi menernaknya, maka jelas-jelas bertentangan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk membunuhnya walaupun hikmah dan alasan di balik itu perlu pembahasan tersendiri. Selebihnya, sikap bijak orang yang berusaha mengejar predikat muttaqin adalah meninggalkan dan mengorbankan kesempatan untuk menikmati sebagian yang halal -apalagi makruh-, demi menghindari hal yang bermasalah secara hukum. Nabi bersabda: ”Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sebelum ia meninggalkan apa yang tidak berdosa, demi menghindari yang berdosa” (HR.al-Turmudzi, Ibn Majah dan al-Hakim). Walllahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/14/2/hukum-mengkonsumsi-dan-bisnis-tokek.html

Hukum Tasyakuran Haji

Kamis, 24 Februari 2011

0 komentar
Assalammualaikum...

Acara walimah merupakan salah satu bentuk ibadah, apakah Walimatul Safar (tasyakuran mau berangkat dan pulang haji) merupakan ibadah yang sudah dituntunkan oleh Rasul? Apakah ada dasarnya, baik dari Alquran atau hadist? Terima kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb

[Ahmad Maulana, Surabaya]

Jawab:

Saudaraku fi al-din rahimakallah, ritme kehidupan manusia tidak lepas dari senang dan susah. Manusia akan merasa senang saat merasa bahwa apa yang diterimanya adalah nikmat, sebaliknya akan merasa gundah bila merasa tertimpa musibah. Fitrah manusia menuntun untuk mengekspresikan rasa terima kasih kepada pemberi nikmat saat menerimanya. Namun menjadi lain bila merasa tertimpa kesusahan.

Bagi seorang mukmin yang tentu menyadari bahwa semuanya merupakan anugerah dan sekaligus ujian dari Allah, maka sebagaimana dikatakan Nabi: ”Jika menerima nikmat, dia bersyukur dan yang demikian itu adalah merupakan kebaikan untuknya. Dan bila tertimpa musibah, ia bersabar. Dan itu juga merupakan kebaikan untuknya.” [HR Muslim]

Dalam kaitannya dengan mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang sejak lama diidamkan dan melalui proses yang panjang, maka pantaslah bagi seorang mukmin mensyukuri nikmat berupa kesehatan, kecukupan, dan kesempatan untuk menunaikan salah satu rukun Islam itu. Walaupun masih berupa peluang akan berangkat pun --dengan kepastian keberangkatan-- adalah nikmat pula. Namun hakikat dari syukur adalah pendayagunaan segala nikmat yang Allah berikan untuk bersikap taat kepadanya. Adapun ekspresi lain berupa penyelenggaraan walimah disebabkan mau berangkat haji, tidak dikenal khazanah fikih Islam.

Al-Bahuti menginventarisasi berbagai macam walimah yang biasa disebut para ulama dalam bab walimah, yakni terdapat sebelas macam walimah. Tetapi tidak dijumpai adanya walimah hendak berangkat haji. Begitu pula Ibn Thuluun dalam kitabnya “Fash al-Khawatim fi Ma Qila fi al-Wala’im”, dari dua belas macam yang ia cantumkan tak sedikitpun menyinggung tentang adanya walimah safar. Terkait dengan perjalanan (safar), mereka berdua hanya menyebut “al-naqi’ah”, yaitu makanan yang disiapkan untuk makan bersama undangan karena menyambut orang yang datang dari bepergian.

Walaupun demikian, hal ini tidak berarti dilarang. Memberi makan kepada orang lain dengan maksud sedekah adalah hal yang jelas dianjurkan dalam syariat. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa Walimah Safar (hendak berangkat haji) adalah sesuatu yang disunnahkan atau dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. atau bahkan bagian dari tuntunan berhaji, hingga bila tidak dilakukan lantas dinilai cacat dalam beragama.

Dan bila dalam praktiknya sesuai adat setempat ternyata memakan biaya besar, sehingga dapat menghalangi orang untuk berhaji karena modalnya pas-pasan atau potensial menjadi ajang persaingan prestis dan pamer, maka wajib adanya pelurusan, bahkan mungkin sampai fatwa pelarangan.

Adapun yang disebut ulama dengan Al-naqi’ah, sebagaimana pengertian di atas, maka dalam kitab ulama madzhab Syafi’i dikatakan, hal itu dianjurkan (mustahab/mandub), utamanya bagi orang yang pulang haji (Hasyiayah al-Qalyubi: II/190).

Masalahnya tak satu pun dalam kitab tersebut maupun kitab yang lain adanya pencantuman dalil yang spesifik terkait dengan walimah pulang haji itu. Kemungkinan besar yang menjadi pedomannya adalah analogi dengan walimah al-‘urs/nikah karena sama-sama merupakan momentum kebahagiaan. Dan dengan niatan bersyukur kepada Allah secara mutlak karena telah mendapat nikmat, jelas dibolehkan dan bebas dari jatuh pada salah keyakinan tentang pensyariatannya. Semuanya tentu harus pula memperhatikan keterangan di atas yang berkaitan dengan walimah sebelum haji. Wallahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/11/2/hukum-tasyakuran-haji.html

Wali Tidak Mau Menikahkan , Bolehkan Nikah Dengan Wali Hakim ?

Senin, 21 Februari 2011

0 komentar
Tanya :

Ada seorang perempuan yang ingin menikah, tapi tak disetujui oleh walinya dengan berbagai alasan, misal calon suaminya orang miskin, dll. Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim?

Jawab :

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Misal anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 90-91).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah, meski dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari bangsa yang sama, bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol, yaitu wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang diwalinya jika ia telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik sesuai QS Al-Baqarah : 232. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116).

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).

Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam II/118). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetap sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan. Wallahu a’lam (mediaumat.com : Ustadz Siddiq al Jawie)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/08/wali-tidak-mau-menikahkan-bolehkan-nikah-dengan-wali-hakim/

Haruskah Zakat Istri Izin Suami?

Kamis, 17 Februari 2011

0 komentar
Ustadz terhormat. Saya seorang isteri yang bekerja di perusahaan swasta. Hasilnya saya tabung. Bagaimana caranya menzakati tabungan seorang isteri? Apakah dipisah dengan harta suami. Apakah setiap tahun harus dikeluarkan? Dan ketika kita bersedekah atau zakat, apakah harus izin suami?

Jawab :

Anda patut bersyukur diberi anugerah Allah kelapangan rezeki dan hidayah untuk menunaikan hak Allah pada rezeki tersebut. Namun memang wajar menjadi pertanyaan, apakah harta istri harus dipisah dengan milik suami?

Mengacu pada watak dasar zakat, bahwa itu merupakan kewajiban individu yang memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan. Pada sisi lain, hubungan perkawinan jelas tidak berarti peleburan hak milik antara suami dan istri, yang ada adalah bahwa suami wajib memberikan sejumlah hartanya yang wajar kepada istri sebagai nafkah. Sebaliknya, istri sama sekali tidak punya kewajiban untuk memberikan sejumlah harta kepada suami. Dengan demikian, harta istri adalah hak miliknya secara penuh. Konsekuensinya terkait dengan zakat, maka masing-masing merupakan pihak yang dikenai beban hukum (mukallaf) secara terpisah. Namun bila realitanya telah bercampur –dalam satu rekening misalnya-, maka bila masih dapat diperhitungkan secara tersendiri dipisah dan jika tidak, maka tidak perlu dipisah.
Bila konsep tersebut diaplikasikan pada persoalan Anda, maka jelas tabungan Anda adalah harta Anda pribadi, sekaligus tabungan tersebut adalah harta yang telah terpisah dari harta suami. Selanjutnya, Anda tinggal mengecek kapan tabungan itu mencapai jumlah yang setara dengan harga emas 85 gr. Bila belum pernah, maka Anda belum wajib zakat dan jika pernah, maka sejak tanggal itu (haul) harta anda dihitung. Artinya, bila satu tahun kemudian saldo tabungan Anda ditambah dengan uang tunai yang Anda miliki setara atau lebih dari nilai 85gr emas, maka Anda wajib menzakatinya saat itu dengan kadar 2,5% dari harta tersebut.

Adapun mengenai izin dari suami, maka tidak ada kewajiban dalam hal penunaian zakat ini, sebab sudah sangat jelas bahwa harta istri adalah hak mutlak miliknya. Walaupun demikian, mengkomunikasikan hal ini kepada suami merupakan penghormatan dan etika yang indah dalam berinteraksi.

Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah apa yang disampaikan Rasulullah kepada para wanita, di antaranya:

1. Setelah khuthbah ied Rasulullah menganjurkan para wanita untuk bersedekah dan mereka pun langsung melakukannya, tanpa izin dahulu kepada suami mereka. Dalam hadis Ibnu ‘Abbas ia berkata: ”Pada suatu hari Nabi SAW shalat Idul Fithri dua rakaat. Ia tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah khutbah) beliau mendatangi tempat para wanita, sementara Bilal menyertainya. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2.Asma’ bint Abu Bakr diizinkan Rasulullah untuk bersedekah dari harta pemberian suaminya, yaitu Zubair ibn al-’Awwam. Asma’ bercerita: ”Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Berdasar ketegasan dan kesahihan dalil ini, maka tidak diragukan bahwa sedekah atau zakat pada dasarnya tidak perlu izin dari suami. Bila pun izin, maka yang demikian lebih baik sebagai apresiasi kepada kepemimpinannya. Wallahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/16/2/haruskah-zakat-istri-izin-suami?.html

Karakter Pendidikan Islam vs Pendidikan Barat

Senin, 14 Februari 2011

0 komentar
Oleh: Muhammad Deden Suryadiningrat

Pendidikan merupakan salah satu unsur yang sangat penting terhadap pembentukan karakter dan pembangun peradaban suatu bangsa. Setidaknya ada tiga faktor pembentukan sebuah peradaban yaitu pandangan hidup (worldview), ilmu pengetahuan (science) dan salah satunya adalah pendidikan (education). Kaitan antara ketiga faktor tersebut merupakan vicious circle (lingkaran setan). Artinya pandangan hidup dapat lahir dan berkembang dari akumulasi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan.

Islam dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai pendidikan. Paham rasionalisme empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi konsep-konsep pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal inilah yang membedakan ciri pendidikan yang ada di Barat dengan pendidikan Islam. Masing-masing peradaban ini memiliki karakter yang berbeda sehingga out put yang ‘dihasilkan’ pun berbeda.

Tokoh pendidikan Barat, John Dewey mengatakan bahwa Pendidikan suatu bangsa dapat ditinjau dari dua segi; pertama, dari sudut pandang masyarakat (community perspective), dan kedua, dari segi pandangan individu (individual perspective). Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berlanjutan. Sedangkan dari sudut pandang individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.

Jadi, Pendidikan merupakan sebuah proses, bukan hanya sekedar mengembangkan aspek intelektual semata atau hanya sebagai transfer pengetahuan dari satu orang ke orang lain saja, tapi juga sebagai proses transformasi nilai dan pembentukan karakter dalam segala aspeknya. Dengan kata lain, pendidikan juga ikut berperan dalam membangun peradaban dan membangun masa depan bangsa.

Pengertian Pendidikan Islam

Dr. Yusuf Qaradhawi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya (whole human education); akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Sedangkan Prof. Dr. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.

Islam yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin. Di dalamnya terkandung suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan , yaitu:

1. Potensi psikologis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya.

2. Potensi perkembangan kehidupan manusia sebagai ‘khalifah’ di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang ijtima\'iyah dimana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya.

Dari pendapat dua tokoh Islam diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam, bukan hanya mementingakan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan di akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Hal ini mendorong perlunya mengetahui tujuan-tujuan pendidikan Islam secara jelas.
Adapun tujuan-tujuan pendidikan yang dimaksud adalah perubahan-perubahan pada tiga bidang asasi, yaitu :

a. Tujuan-tujuan individual, seperti pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, serta pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.

b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan keseluruhan tingkah laku masyarakat umumnya.

c. Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas masyarakat.

Meskipun demikian tujuan akhir sebuah pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup seseorang Muslim. Karena Pendidikan Islam itu hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan hidup Muslim, bukan tujuan akhir. Dan tentunya tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai tentunya harus berangkat dari dasar-dasar pokok pendidikan dalam ajaran Islam, yaitu keutuhan (syumuliah), keterpaduan, kesinambungan, keaslian, bersifat praktikal, kesetiakawanan dan keterbukaan. Dan yang paling penting adalah tujuan pendidikan tersebut dapat diterjemahkan secara operasional ke dalam silabus dan mata pelajaran yang diajarkan di berbagai tingkat pendidikan, rendah, menengah dan perguruan tinggi, malah juga pada lembaga-lembag pendidikan non formal.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam mempunyai beberapa karakteristik yaitu pertama, Penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ajaran dasar Islam mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim dan muslimat. Kedua, Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu penetahuan. Keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Keempat, penyesuaian terhadap perkembangan jiwa, dan bakat anak. Kelima, pengembangan kepribadian serta penekaanan pada amal saleh dan tanggung jawab.

Dengan karakteristik-karakteristik pendidikan tersebut tampak jelas keunggulan pendidikan Islam dibanding dengan pendidikan lainnya. Karena, pendidikan dalam Islam mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupannya.

Pengertian Pendidikan Barat

Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan Barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, dan rasionalisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. René Descartes misalnya, tokoh filsafat Barat asal Prancis ini menjadikan rasio sebagai kriteria satu-satunya dalam mengukur kebenaran.

Selain itu para filosof lainnya seperti John Locke, Immanuel Kant, Martin Heidegger, Emillio Betti, Hans-Georg Gadammer, dan lainnya juga menekankan rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu mereka, sehingga melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya, yang ikut mempengaruhi berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lainnya

Menurut Syed Naquib al-Attas, ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah . Sehingga dari cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekular.

Masih menurut al-Attas, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, pertama, menggunakan akal untuk membimbing kehidupan manusia; kedua, bersikap dualitas terhadap realitas dan kebenaran; ketiga, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; empat, menggunakan doktrin humanisme; dan kelima, menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan . Kelima faktor ini amat berpengaruh dalam pola pikir para ilmuwan Barat sehingga membentuk pola pendidikan yang ada di Barat.

Kesimpulan

Penjelasan tentang pendidikan Islam dan Barat di atas memperlihatkan adanya kesenjangan pola berfikir yang digunakan para ilmuwan mereka sehingga menghasilkan karakter yang berbeda. Jika sumber dan metodologi ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada kaedah empiris, rasional dan cenderung materialistik serta mengabaikan dan memandang rendah cara memperoleh ilmu melalui wahyu dan kitab suci, maka metodologi dalam ilmu pengetahuan Islam bersumber dari kitab suci al-Qur’an yang diperoleh dari wahyu, Sunnah Rasulullah saw, serta ijtihad para ulama.

Jika Westernisasi ilmu hanya menghasilkan ilmu-ilmu sekular yang cenderung menjauhkan manusia dengan agamanya, maka Islamisasi ilmu justru mampu membangunkan pemikiran dan keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab

Penulis adalah Koordinator Centre for Islamic and Occidental Studies Institut Studi Islam Darussalam Gontor

Sumber: http://hidayatullah.com/read/14962/24/01/2011/karakter-pendidikan-islam-vs-pendidikan-barat-.html

Tentang Wudhu Dan Sholat

Minggu, 13 Februari 2011

0 komentar
Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz sigit yang dirahmati Allah SWT,

Saya belum memahami betul tentang beberapa madzab dalam Islam sehingga saya ingin menanyakan tetang salah satu hal yang membatalkan wudhu (kita bermadzab imam syafi`i) adalah bersentuhan kulit suami dan istri. Saya berfikir suami adalah salah satu mahrom saya dengan kata lain adanya pernikahan dia menjadi mahrom saya, jadi sesuatu yang dulunya tidak halal menjadi halal, tapi kenapa yang dulunya jika bersentuhan kulit membatalkan wudhu setelah adanya pernikahan tetap membatalkan wudhu. Mohon maaf karena sering tanpa sengaja tersenggol sedikit saja kita harus berwudhu lagi ?

Yang kedua jika kita sholat sambil menggendong anak (anak saya perempuan) yang memakai diapers yang tentunya ada air kencing di dalam diapers itu bagaimana hukumnya apakah sholat kita tetap sah ?

yulia

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Yulia yang dirahmati Allah swt

Menyentuh Istri Dalam Keadaan Berwudhu

Jika seorang suami menyentuh istrinya secara langsung (tanpa penghalang) maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu, apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak. Yang paling tepat adalah bahwa ia tidaklah membatalkan wudhu baik menyentuhnya dengan disertai syahwat atau tidak. Karena Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pernah mencium beberapa istrinya dan beliau shallallahu'alaihi wasallam tidak berwudhu lagi dan seandainya hal itu membatalkan wudhu pastilah Nabi shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskannya.

Adapun firman Allah swt :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

Artinya : “Atau menyentuh perempuan.” (QS. Al Maidah [5] : 6)

Maksudnya adalah jima’ (bersetubuh) menurut pendapat para ulama yang paling benar. (al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al Ilmiah wa al Ifta No. 1405)

Hukum Shalat Sambil Menggendong Anak Yang Kencing

Dibolehkan bagi seorang yang melaksanakan shalat sambil menggendong anak kecil jika memang hal itu diperlukan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Qatadah berkata; Aku melihat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam shalat dengan menggendong Umamah atau Umaimah binti Abi Al 'Ash, ia adalah putri Zainab. Beliau menggendongnya bila berdiri dan meletakkannya bila ruku' hingga usai shalat.

Namun hendaklah dirinya memastikan bahwa anak kecil yang digendong itu dalam keadaan suci. Karena diantara syarat sahnya shalat adalah tidak terdapat najis baik di badan, pakaian atau tempat. Maka barangsiapa yang melaksanakan shalat sedangkan di pakaiannya atau badannya terdapat najis atau dirinya menggendong anak kecil yang terkena najis atau membawa botol yang didalamnya terdapat najis maka batal shalatnya, demikian menurut jumhur ulama namun tidak membatalkan wudhunya.

Ibnu Qudamah didalam kitabnya “al Mughni” mengatakan,”Seandainya seorang melaksanakan shalat sambil membawa botol tertutup yang berisi najis maka tidak sah shalatnya.”

Shalatnya batal jika dirinya mengetahui bahwa anak kecil yang digendongnya itu terkena najis akan tetapi jika dirinya tidak mengetahui bahwa anak kecil itu terkena najis atau lupa bahwa anak itu terkena najis maka shalatnya sah dan tidak perlu baginya untuk mengulang shalatnya.

Syeikh Ibnu Utsaimin —semoga Allah merahmatinya— mengatakan, ”Apabila seorang yang shalat sementara badannya terkena najis atau terkena najis yang tidak dicuci atau pakaiannya najis atau tempatnya najis maka shalatnya tidaklah sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi seandainya dirinya tidak mengetahui najis tersebut atau mengetahuinya kemudian lupa untuk mencucinya hingga selesai shalatnya maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulang. Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku.” Seandainya shalat batal karena disertai najis yang tidak diketahuinya pastilah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan lagi shalatnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin juz XII hal 381)

Dengan demikian jika anda melaksanakan shalat sambil menggendong anak anda sementara anda mengetahui bahwa anak anda terkena najis air kencingnya sendiri meskipun dia menggunakan diapers maka shalat anda batal namun tidak membatalkan wudhu sehingga diharuskan bagi anda untuk mengulang shalat. Sedangkan jika anda meyakini bahwa diapers yang dikenakan anak anda yang digendong itu suci atau tidak terkena najis air kencingnya atau terkena najis air kencingnya ketika anda shalat sementara anda tidak mengetahuinya hingga anda selesai melaksanakan shalat maka shalat anda sah dan tidak perlu mengulanginya.

Wallahu A’lam.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/tentang-wudhu-dan-sholat.htm

Penyakit Pikun karena Tidur Sehabis Shubuh

Jumat, 11 Februari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ww, pak ustadz saya pernah mendengar teman berceritaapakah benar tidur setelah shalat subuh akan membuat kita pikun ?? wassalam

Abu Yazid

Jawaban:

Walaaikumussalam Wr Wb

Tidak terdapat satu nash pun yang melarang seseorang tidur setelah shalat shubuh sehingga hukumnya adalah tetap seperti asalnya yaitu boleh.

Namun demikian diantara arahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bahwa apabila mereka menunaikan shalat shubuh maka mereka tetap duduk di tempat shalat mereka hingga terbit matahari, sebagaimana disebutkan didalam Shahih Muslim (1/463) no. 670 dari hadits Simak bin Harb katanya; aku berkata kepada Jabir bin Samurah; "Mungkin anda pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Dia menjawab; "Ya, dan itu banyak kesempatan, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah beranjak dari tempat shalatnya ketika subuh atau pagi hari hingga matahari terbit, jika matahari terbit, maka beliau beranjak pergi. Para sahabat seringkali bercerita-cerita dan berkisah-kisah semasa jahiliyahnya, lantas mereka pun tertawa, namun beliau hanya tersenyum."

Juga permintaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Tuhannya agar memberkahi umatnya di pagi hari mereka, sebagaimana terdapat didalam hadits dari Shakhr Al Ghamidi, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau mengucapkan: "ALLAAHUMMA BAARIK LI UMMATII FII BUKUURIHAA (Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari mereka). Dan beliau apabila mengirim expedisi atau pasukan beliau mengirim mereka di awal siang. Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di awal siang, maka hartanya bertambah banyak. Abu Daud berkata; ia adalah Shakhr bin Wada'ah. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) Hadits ini dikuatkan oleh hadits Ali, Ibnu Umar, Ibn Abbas, Ibnu Mas’ud dan selain mereka.

Dari sini, sebagian ulama salaf memakruhkan tidur setelah shubuh. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan didalam “Mushannaf”nya 5/222 no. 25442 dengan sanad shahih dari Urwah bin az Zubeir bahwa dia berkata,”Zubeir dahulu melarang anaknya untuk tidur diwaktu pagi hari. Urwah berkata,’Sesungguhnya aku mendengar bahwa seeorang tidur di waktu pagi hari maka aku pun meninggalkannya.”

Ringkasnya bahwa yang lebih utama bagi seseorang adalah mengisi waktu ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akheratnya. Dan jika dia tidur di waktu itu untuk menguatkan dirinya dalam menunaikan pekerjaannya maka hal itu tidaklah mengapa terlebih lagi jika ia adalah orang yang diwaktu-waktu siangnya sulit sekali tidur kecuali di waktu ini (bada shubuh).

Ibnu Abi Syaibah didalam “Mushannaf”nya (5/223 No. 25454) meriwayatkan dari hadits Abi Yazid al Madini berkata,”Umar pernah mengunjungi Shuhaib di pagi hari lalu dia mendapatkanna sedang tidur dan ia pun duduk hingga Shuhaib terbangun. Shuhaib berkata,” Amirul Mukminin duduk diatas tempat duduknya sementara Shuhaib tidur diatas tempat tidurnya!” Umar pun berkata kepadanya,”Aku tidak suka agar engkau meninggalkan tidur yang menyertaimu.”

Adapun tidur setelah ashar maka ia juga boleh dan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang larangan tidur di waktu ini adalah tidak benar.
Adapun apa yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,”Tidur setelah ashar maka akan menghilangkan akalnya. Untuk itu tidak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.” Ini adalah hadits batil yang tidak berasal dari Nabi saw. (Slilsilah adh Dhaifah No. 39). (Fatawa Islam Sual wa Jawab No. 2063)

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/shalat-sehabis-shubuh.htm