Hukum Mengkonsumsi dan Bisnis Tokek

Senin, 28 Februari 2011

0 komentar
Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh

Saat ini pemburuan dan bisnis tokek sedang marak, sehingga harganya begitu tinggi. Dari informasi yang berkembang, konon ada tokek harganya bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Pemanfaatan tokek pun bermacam-macam, dikonsumsi sebagai obat dan sebagai koleksi. Untuk itu saya mau bertanya, apakah hukumnya mengkonsumsi dan mengoleksi tokek?

Wassalamu alaikum

Ahmad, Surabaya

Jawab :

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Memang benar saudaraku –rahimakallah- bahwa tahun-tahun terakhir ini tokek menjadi komoditas yang diburu orang. Hal itu tidak lain karena harga jualnya yang begitu luar biasa mahal, sebagaimana pengakuan pebisnis pada sebuah media cetak. Meskipun cukup populer dan menggiurkan, sikap hamba Allah yang konsisten pasti terdorong untuk mengkonsultasikan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui kaidah yang disarikan dari keduanya. Untuk itu, dalam mengkaji masalah ini dapat melalui tahapan berikut:

Pertama, kaidah dasar mayoritas ulama ushul menyatakan: ”al-Ashl fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla al-dalil ‘ala al-tahrim.” Artinya pada dasarnya hukum asal segala hal adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Berdasar pada kaidah yang diambil dari berbagai ayat dan hadis ini, hukum dasar dari tokek adalah halal. Masalahnya adalah, adakah dalil yang sahih dan definitif mengenai keharamannya.

Kedua, terdapat dalil yang bersifat umum tentang pengharaman setiap hal yang buruk (khabits), sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf : 157. Pengharaman itu tidak terbatas pada masalah konsumsi, tetapi juga macam-macam model pernikahan, ucapan, dan perbuatan. Begitu pula berbagai ragam transaksi ekonomi (al-Sa’di,Taisir al-Karim al-Rahman, I:305, al-Nasafi, I:395). Adapun terkait dengan konsumsi hewani, al-Qur’an justru memberikan perincian sekaligus batasan yang final –alias tidak mungkin bertambah- dengan mengatakan: ”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.(QS. Al-An’am:145). Ayat ini memang Makkiyyah, tetapi secara konsisten Allah menegaskan pembatasan pengharaman hewan pada empat hal ini pada ayat-ayat lain, yaitu al-Nahl:173 sampai surat periode Madinah al-Maidah:1 dan 3 serta al-Baqarah:173.

Ibn Qudamah meriwayatkan bahwa Ibn Abbas dan Aisyah r.a berpegang pada pemahaman yang demikian itu. Bahkan setelah membaca ayat 145 dari al-An’am itu Ibn Abbas berkata: ”Apa yang selain itu adalah halal” (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, I:1612). Korelatif dengan penegasan yang berulang sampai empat kali serta pendapat Ibn Abbas itu, Imam Malik tegas berpegang bahwa yang haram dari jenis hewan adalah empat kategori tersebut. (al-Razi, al-Tafsir al-Kabir,VII:8). Konsekuensinya bila ada hadis sahih yang berindikasi pengharaman, maka harus dipahami bahwa hukumnya maksimal adalah makruh, kecuali bila berakibat madharrat (membahayakan kesehatan). Oleh karena itu, dalam madzhab Imam Malik tokek adalah halal dan boleh dikonsumsi dengan syarat disembelih secara syar’i (al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil , I:483)

Ketiga, tak terbantahkan bahwa terdapat hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dan juga para imam hadis, di mana Rasulullah menganjurkan untuk membunuh tokek. Nabi bersabda: ”Barang siapa yang membunuh tokek dengan sekali pukul, maka ia mendapatkan pahala seratus kebaikan, dan bila ia membunuhnya pada pukulan kedua, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan bila pada pukulan ketiga, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu." (HR.Muslim). Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari, Ummu Syuraik r.a mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh tokek. Berdasar pada hadis ini jumhur ulama yaitu Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan, bahwa tokek -yang termasuk dalam hewan melata (hasyarat)- adalah hewan yang haram dikonsumsi. Alasannya, (a) karena Nabi menyuruh untuk membunuhnya, (b) tokek termasuk hewan melata yang berkategori hal-hal yang buruk (khabaits) sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf:157. (Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, III:508, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,XVII:297) serta (c) Nabi menamainya fuwaisiq (hewan kecil yang jahat), sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari. Namun, sungguh sulit diterima akal adanya tambahan jenis hewan yang dilarang dengan hukum haram setelah empat kali ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa yang haram hanya empat kategori sebagaimana di atas. Sebab, adanya tambahan berarti inkonsistensi terhadap pernyataan pembatasan yang sangat kokoh dengan diulang empat kali dalam al-Qur’an.

Oleh karena itu saya pribadi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa hukum mengonsumsi tokek adalah halal tapi makruh, demikian pula dengan menjualnya. Adapun memelihara apalagi menernaknya, maka jelas-jelas bertentangan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk membunuhnya walaupun hikmah dan alasan di balik itu perlu pembahasan tersendiri. Selebihnya, sikap bijak orang yang berusaha mengejar predikat muttaqin adalah meninggalkan dan mengorbankan kesempatan untuk menikmati sebagian yang halal -apalagi makruh-, demi menghindari hal yang bermasalah secara hukum. Nabi bersabda: ”Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sebelum ia meninggalkan apa yang tidak berdosa, demi menghindari yang berdosa” (HR.al-Turmudzi, Ibn Majah dan al-Hakim). Walllahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/14/2/hukum-mengkonsumsi-dan-bisnis-tokek.html

Hukum Tasyakuran Haji

Kamis, 24 Februari 2011

0 komentar
Assalammualaikum...

Acara walimah merupakan salah satu bentuk ibadah, apakah Walimatul Safar (tasyakuran mau berangkat dan pulang haji) merupakan ibadah yang sudah dituntunkan oleh Rasul? Apakah ada dasarnya, baik dari Alquran atau hadist? Terima kasih.

Wassalammualaikum Wr.Wb

[Ahmad Maulana, Surabaya]

Jawab:

Saudaraku fi al-din rahimakallah, ritme kehidupan manusia tidak lepas dari senang dan susah. Manusia akan merasa senang saat merasa bahwa apa yang diterimanya adalah nikmat, sebaliknya akan merasa gundah bila merasa tertimpa musibah. Fitrah manusia menuntun untuk mengekspresikan rasa terima kasih kepada pemberi nikmat saat menerimanya. Namun menjadi lain bila merasa tertimpa kesusahan.

Bagi seorang mukmin yang tentu menyadari bahwa semuanya merupakan anugerah dan sekaligus ujian dari Allah, maka sebagaimana dikatakan Nabi: ”Jika menerima nikmat, dia bersyukur dan yang demikian itu adalah merupakan kebaikan untuknya. Dan bila tertimpa musibah, ia bersabar. Dan itu juga merupakan kebaikan untuknya.” [HR Muslim]

Dalam kaitannya dengan mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang sejak lama diidamkan dan melalui proses yang panjang, maka pantaslah bagi seorang mukmin mensyukuri nikmat berupa kesehatan, kecukupan, dan kesempatan untuk menunaikan salah satu rukun Islam itu. Walaupun masih berupa peluang akan berangkat pun --dengan kepastian keberangkatan-- adalah nikmat pula. Namun hakikat dari syukur adalah pendayagunaan segala nikmat yang Allah berikan untuk bersikap taat kepadanya. Adapun ekspresi lain berupa penyelenggaraan walimah disebabkan mau berangkat haji, tidak dikenal khazanah fikih Islam.

Al-Bahuti menginventarisasi berbagai macam walimah yang biasa disebut para ulama dalam bab walimah, yakni terdapat sebelas macam walimah. Tetapi tidak dijumpai adanya walimah hendak berangkat haji. Begitu pula Ibn Thuluun dalam kitabnya “Fash al-Khawatim fi Ma Qila fi al-Wala’im”, dari dua belas macam yang ia cantumkan tak sedikitpun menyinggung tentang adanya walimah safar. Terkait dengan perjalanan (safar), mereka berdua hanya menyebut “al-naqi’ah”, yaitu makanan yang disiapkan untuk makan bersama undangan karena menyambut orang yang datang dari bepergian.

Walaupun demikian, hal ini tidak berarti dilarang. Memberi makan kepada orang lain dengan maksud sedekah adalah hal yang jelas dianjurkan dalam syariat. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa Walimah Safar (hendak berangkat haji) adalah sesuatu yang disunnahkan atau dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. atau bahkan bagian dari tuntunan berhaji, hingga bila tidak dilakukan lantas dinilai cacat dalam beragama.

Dan bila dalam praktiknya sesuai adat setempat ternyata memakan biaya besar, sehingga dapat menghalangi orang untuk berhaji karena modalnya pas-pasan atau potensial menjadi ajang persaingan prestis dan pamer, maka wajib adanya pelurusan, bahkan mungkin sampai fatwa pelarangan.

Adapun yang disebut ulama dengan Al-naqi’ah, sebagaimana pengertian di atas, maka dalam kitab ulama madzhab Syafi’i dikatakan, hal itu dianjurkan (mustahab/mandub), utamanya bagi orang yang pulang haji (Hasyiayah al-Qalyubi: II/190).

Masalahnya tak satu pun dalam kitab tersebut maupun kitab yang lain adanya pencantuman dalil yang spesifik terkait dengan walimah pulang haji itu. Kemungkinan besar yang menjadi pedomannya adalah analogi dengan walimah al-‘urs/nikah karena sama-sama merupakan momentum kebahagiaan. Dan dengan niatan bersyukur kepada Allah secara mutlak karena telah mendapat nikmat, jelas dibolehkan dan bebas dari jatuh pada salah keyakinan tentang pensyariatannya. Semuanya tentu harus pula memperhatikan keterangan di atas yang berkaitan dengan walimah sebelum haji. Wallahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/11/2/hukum-tasyakuran-haji.html

Wali Tidak Mau Menikahkan , Bolehkan Nikah Dengan Wali Hakim ?

Senin, 21 Februari 2011

0 komentar
Tanya :

Ada seorang perempuan yang ingin menikah, tapi tak disetujui oleh walinya dengan berbagai alasan, misal calon suaminya orang miskin, dll. Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim?

Jawab :

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’. Misal anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim) (HSA Alhamdani, Risalah Nikah, hal. 90-91).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah, meski dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari bangsa yang sama, bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, dan sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol, yaitu wali yang tidak mau menikahkan perempuan yang diwalinya jika ia telah menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang fasik sesuai QS Al-Baqarah : 232. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116).

Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”…jika mereka [wali] berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali.” (fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).

Yang dimaksud dengan wali hakim, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam II/118). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetap sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’ dalam urusan pernikahan. Wallahu a’lam (mediaumat.com : Ustadz Siddiq al Jawie)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/08/wali-tidak-mau-menikahkan-bolehkan-nikah-dengan-wali-hakim/

Haruskah Zakat Istri Izin Suami?

Kamis, 17 Februari 2011

0 komentar
Ustadz terhormat. Saya seorang isteri yang bekerja di perusahaan swasta. Hasilnya saya tabung. Bagaimana caranya menzakati tabungan seorang isteri? Apakah dipisah dengan harta suami. Apakah setiap tahun harus dikeluarkan? Dan ketika kita bersedekah atau zakat, apakah harus izin suami?

Jawab :

Anda patut bersyukur diberi anugerah Allah kelapangan rezeki dan hidayah untuk menunaikan hak Allah pada rezeki tersebut. Namun memang wajar menjadi pertanyaan, apakah harta istri harus dipisah dengan milik suami?

Mengacu pada watak dasar zakat, bahwa itu merupakan kewajiban individu yang memenuhi syarat, baik laki-laki maupun perempuan. Pada sisi lain, hubungan perkawinan jelas tidak berarti peleburan hak milik antara suami dan istri, yang ada adalah bahwa suami wajib memberikan sejumlah hartanya yang wajar kepada istri sebagai nafkah. Sebaliknya, istri sama sekali tidak punya kewajiban untuk memberikan sejumlah harta kepada suami. Dengan demikian, harta istri adalah hak miliknya secara penuh. Konsekuensinya terkait dengan zakat, maka masing-masing merupakan pihak yang dikenai beban hukum (mukallaf) secara terpisah. Namun bila realitanya telah bercampur –dalam satu rekening misalnya-, maka bila masih dapat diperhitungkan secara tersendiri dipisah dan jika tidak, maka tidak perlu dipisah.
Bila konsep tersebut diaplikasikan pada persoalan Anda, maka jelas tabungan Anda adalah harta Anda pribadi, sekaligus tabungan tersebut adalah harta yang telah terpisah dari harta suami. Selanjutnya, Anda tinggal mengecek kapan tabungan itu mencapai jumlah yang setara dengan harga emas 85 gr. Bila belum pernah, maka Anda belum wajib zakat dan jika pernah, maka sejak tanggal itu (haul) harta anda dihitung. Artinya, bila satu tahun kemudian saldo tabungan Anda ditambah dengan uang tunai yang Anda miliki setara atau lebih dari nilai 85gr emas, maka Anda wajib menzakatinya saat itu dengan kadar 2,5% dari harta tersebut.

Adapun mengenai izin dari suami, maka tidak ada kewajiban dalam hal penunaian zakat ini, sebab sudah sangat jelas bahwa harta istri adalah hak mutlak miliknya. Walaupun demikian, mengkomunikasikan hal ini kepada suami merupakan penghormatan dan etika yang indah dalam berinteraksi.

Dalil yang menjadi dasar pendapat ini adalah apa yang disampaikan Rasulullah kepada para wanita, di antaranya:

1. Setelah khuthbah ied Rasulullah menganjurkan para wanita untuk bersedekah dan mereka pun langsung melakukannya, tanpa izin dahulu kepada suami mereka. Dalam hadis Ibnu ‘Abbas ia berkata: ”Pada suatu hari Nabi SAW shalat Idul Fithri dua rakaat. Ia tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah khutbah) beliau mendatangi tempat para wanita, sementara Bilal menyertainya. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2.Asma’ bint Abu Bakr diizinkan Rasulullah untuk bersedekah dari harta pemberian suaminya, yaitu Zubair ibn al-’Awwam. Asma’ bercerita: ”Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Berdasar ketegasan dan kesahihan dalil ini, maka tidak diragukan bahwa sedekah atau zakat pada dasarnya tidak perlu izin dari suami. Bila pun izin, maka yang demikian lebih baik sebagai apresiasi kepada kepemimpinannya. Wallahu a’lam.

Sumber: http://hidayatullah.com/konsultasi/konsultasi-syariah/16/2/haruskah-zakat-istri-izin-suami?.html

Karakter Pendidikan Islam vs Pendidikan Barat

Senin, 14 Februari 2011

0 komentar
Oleh: Muhammad Deden Suryadiningrat

Pendidikan merupakan salah satu unsur yang sangat penting terhadap pembentukan karakter dan pembangun peradaban suatu bangsa. Setidaknya ada tiga faktor pembentukan sebuah peradaban yaitu pandangan hidup (worldview), ilmu pengetahuan (science) dan salah satunya adalah pendidikan (education). Kaitan antara ketiga faktor tersebut merupakan vicious circle (lingkaran setan). Artinya pandangan hidup dapat lahir dan berkembang dari akumulasi ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan.

Islam dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai pendidikan. Paham rasionalisme empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi konsep-konsep pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal inilah yang membedakan ciri pendidikan yang ada di Barat dengan pendidikan Islam. Masing-masing peradaban ini memiliki karakter yang berbeda sehingga out put yang ‘dihasilkan’ pun berbeda.

Tokoh pendidikan Barat, John Dewey mengatakan bahwa Pendidikan suatu bangsa dapat ditinjau dari dua segi; pertama, dari sudut pandang masyarakat (community perspective), dan kedua, dari segi pandangan individu (individual perspective). Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat tetap berlanjutan. Sedangkan dari sudut pandang individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi.

Jadi, Pendidikan merupakan sebuah proses, bukan hanya sekedar mengembangkan aspek intelektual semata atau hanya sebagai transfer pengetahuan dari satu orang ke orang lain saja, tapi juga sebagai proses transformasi nilai dan pembentukan karakter dalam segala aspeknya. Dengan kata lain, pendidikan juga ikut berperan dalam membangun peradaban dan membangun masa depan bangsa.

Pengertian Pendidikan Islam

Dr. Yusuf Qaradhawi memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai pendidikan manusia seutuhnya (whole human education); akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Sedangkan Prof. Dr. Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.

Islam yang diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin. Di dalamnya terkandung suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan , yaitu:

1. Potensi psikologis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi sosok pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainnya.

2. Potensi perkembangan kehidupan manusia sebagai ‘khalifah’ di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang ijtima\'iyah dimana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya.

Dari pendapat dua tokoh Islam diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam, bukan hanya mementingakan pembentukan pribadi untuk kebahagiaan dunia, tetapi juga untuk kebahagiaan di akhirat. Lebih dari itu, pendidikan Islam berusaha membentuk pribadi yang bernafaskan ajaran-ajaran Islam, sehingga pribadi-pribadi yang terbentuk itu tidak terlepas dari nilai-nilai agama. Hal ini mendorong perlunya mengetahui tujuan-tujuan pendidikan Islam secara jelas.
Adapun tujuan-tujuan pendidikan yang dimaksud adalah perubahan-perubahan pada tiga bidang asasi, yaitu :

a. Tujuan-tujuan individual, seperti pertumbuhan yang diinginkan pada pribadi mereka, serta pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada kehidupan dunia dan akhirat.

b. Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan keseluruhan tingkah laku masyarakat umumnya.

c. Tujuan-tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai suatu aktifitas di antara aktifitas-aktifitas masyarakat.

Meskipun demikian tujuan akhir sebuah pendidikan Islam tidak lepas dari tujuan hidup seseorang Muslim. Karena Pendidikan Islam itu hanyalah suatu sarana untuk mencapai tujuan hidup Muslim, bukan tujuan akhir. Dan tentunya tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai tentunya harus berangkat dari dasar-dasar pokok pendidikan dalam ajaran Islam, yaitu keutuhan (syumuliah), keterpaduan, kesinambungan, keaslian, bersifat praktikal, kesetiakawanan dan keterbukaan. Dan yang paling penting adalah tujuan pendidikan tersebut dapat diterjemahkan secara operasional ke dalam silabus dan mata pelajaran yang diajarkan di berbagai tingkat pendidikan, rendah, menengah dan perguruan tinggi, malah juga pada lembaga-lembag pendidikan non formal.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam mempunyai beberapa karakteristik yaitu pertama, Penguasaan Ilmu Pengetahuan. Ajaran dasar Islam mewajibkan mencari ilmu pengetahuan bagi setiap Muslim dan muslimat. Kedua, Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu penetahuan. Keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Keempat, penyesuaian terhadap perkembangan jiwa, dan bakat anak. Kelima, pengembangan kepribadian serta penekaanan pada amal saleh dan tanggung jawab.

Dengan karakteristik-karakteristik pendidikan tersebut tampak jelas keunggulan pendidikan Islam dibanding dengan pendidikan lainnya. Karena, pendidikan dalam Islam mempunyai ikatan langsung dengan nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupannya.

Pengertian Pendidikan Barat

Ilmu yang dikembangkan dalam pendidikan Barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, dan rasionalisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. René Descartes misalnya, tokoh filsafat Barat asal Prancis ini menjadikan rasio sebagai kriteria satu-satunya dalam mengukur kebenaran.

Selain itu para filosof lainnya seperti John Locke, Immanuel Kant, Martin Heidegger, Emillio Betti, Hans-Georg Gadammer, dan lainnya juga menekankan rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu mereka, sehingga melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya, yang ikut mempengaruhi berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lainnya

Menurut Syed Naquib al-Attas, ilmu dalam peradaban Barat tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional. Akibatnya, ilmu pengetahuan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah . Sehingga dari cara pandang yang seperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekular.

Masih menurut al-Attas, ada lima faktor yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, pertama, menggunakan akal untuk membimbing kehidupan manusia; kedua, bersikap dualitas terhadap realitas dan kebenaran; ketiga, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekular; empat, menggunakan doktrin humanisme; dan kelima, menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan . Kelima faktor ini amat berpengaruh dalam pola pikir para ilmuwan Barat sehingga membentuk pola pendidikan yang ada di Barat.

Kesimpulan

Penjelasan tentang pendidikan Islam dan Barat di atas memperlihatkan adanya kesenjangan pola berfikir yang digunakan para ilmuwan mereka sehingga menghasilkan karakter yang berbeda. Jika sumber dan metodologi ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada kaedah empiris, rasional dan cenderung materialistik serta mengabaikan dan memandang rendah cara memperoleh ilmu melalui wahyu dan kitab suci, maka metodologi dalam ilmu pengetahuan Islam bersumber dari kitab suci al-Qur’an yang diperoleh dari wahyu, Sunnah Rasulullah saw, serta ijtihad para ulama.

Jika Westernisasi ilmu hanya menghasilkan ilmu-ilmu sekular yang cenderung menjauhkan manusia dengan agamanya, maka Islamisasi ilmu justru mampu membangunkan pemikiran dan keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani pribadi muslim yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bishawab

Penulis adalah Koordinator Centre for Islamic and Occidental Studies Institut Studi Islam Darussalam Gontor

Sumber: http://hidayatullah.com/read/14962/24/01/2011/karakter-pendidikan-islam-vs-pendidikan-barat-.html

Tentang Wudhu Dan Sholat

Minggu, 13 Februari 2011

0 komentar
Assalamualaikum wr. wb.

Ustadz sigit yang dirahmati Allah SWT,

Saya belum memahami betul tentang beberapa madzab dalam Islam sehingga saya ingin menanyakan tetang salah satu hal yang membatalkan wudhu (kita bermadzab imam syafi`i) adalah bersentuhan kulit suami dan istri. Saya berfikir suami adalah salah satu mahrom saya dengan kata lain adanya pernikahan dia menjadi mahrom saya, jadi sesuatu yang dulunya tidak halal menjadi halal, tapi kenapa yang dulunya jika bersentuhan kulit membatalkan wudhu setelah adanya pernikahan tetap membatalkan wudhu. Mohon maaf karena sering tanpa sengaja tersenggol sedikit saja kita harus berwudhu lagi ?

Yang kedua jika kita sholat sambil menggendong anak (anak saya perempuan) yang memakai diapers yang tentunya ada air kencing di dalam diapers itu bagaimana hukumnya apakah sholat kita tetap sah ?

yulia

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Yulia yang dirahmati Allah swt

Menyentuh Istri Dalam Keadaan Berwudhu

Jika seorang suami menyentuh istrinya secara langsung (tanpa penghalang) maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu, apakah hal itu membatalkan wudhu atau tidak. Yang paling tepat adalah bahwa ia tidaklah membatalkan wudhu baik menyentuhnya dengan disertai syahwat atau tidak. Karena Nabi shallallahu'alaihi wa sallam pernah mencium beberapa istrinya dan beliau shallallahu'alaihi wasallam tidak berwudhu lagi dan seandainya hal itu membatalkan wudhu pastilah Nabi shallallahu'alaihi wasallam telah menjelaskannya.

Adapun firman Allah swt :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

Artinya : “Atau menyentuh perempuan.” (QS. Al Maidah [5] : 6)

Maksudnya adalah jima’ (bersetubuh) menurut pendapat para ulama yang paling benar. (al Lajnah ad Daimah li al Buhuts al Ilmiah wa al Ifta No. 1405)

Hukum Shalat Sambil Menggendong Anak Yang Kencing

Dibolehkan bagi seorang yang melaksanakan shalat sambil menggendong anak kecil jika memang hal itu diperlukan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Qatadah berkata; Aku melihat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam shalat dengan menggendong Umamah atau Umaimah binti Abi Al 'Ash, ia adalah putri Zainab. Beliau menggendongnya bila berdiri dan meletakkannya bila ruku' hingga usai shalat.

Namun hendaklah dirinya memastikan bahwa anak kecil yang digendong itu dalam keadaan suci. Karena diantara syarat sahnya shalat adalah tidak terdapat najis baik di badan, pakaian atau tempat. Maka barangsiapa yang melaksanakan shalat sedangkan di pakaiannya atau badannya terdapat najis atau dirinya menggendong anak kecil yang terkena najis atau membawa botol yang didalamnya terdapat najis maka batal shalatnya, demikian menurut jumhur ulama namun tidak membatalkan wudhunya.

Ibnu Qudamah didalam kitabnya “al Mughni” mengatakan,”Seandainya seorang melaksanakan shalat sambil membawa botol tertutup yang berisi najis maka tidak sah shalatnya.”

Shalatnya batal jika dirinya mengetahui bahwa anak kecil yang digendongnya itu terkena najis akan tetapi jika dirinya tidak mengetahui bahwa anak kecil itu terkena najis atau lupa bahwa anak itu terkena najis maka shalatnya sah dan tidak perlu baginya untuk mengulang shalatnya.

Syeikh Ibnu Utsaimin —semoga Allah merahmatinya— mengatakan, ”Apabila seorang yang shalat sementara badannya terkena najis atau terkena najis yang tidak dicuci atau pakaiannya najis atau tempatnya najis maka shalatnya tidaklah sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi seandainya dirinya tidak mengetahui najis tersebut atau mengetahuinya kemudian lupa untuk mencucinya hingga selesai shalatnya maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulang. Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku.” Seandainya shalat batal karena disertai najis yang tidak diketahuinya pastilah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan lagi shalatnya.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin juz XII hal 381)

Dengan demikian jika anda melaksanakan shalat sambil menggendong anak anda sementara anda mengetahui bahwa anak anda terkena najis air kencingnya sendiri meskipun dia menggunakan diapers maka shalat anda batal namun tidak membatalkan wudhu sehingga diharuskan bagi anda untuk mengulang shalat. Sedangkan jika anda meyakini bahwa diapers yang dikenakan anak anda yang digendong itu suci atau tidak terkena najis air kencingnya atau terkena najis air kencingnya ketika anda shalat sementara anda tidak mengetahuinya hingga anda selesai melaksanakan shalat maka shalat anda sah dan tidak perlu mengulanginya.

Wallahu A’lam.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/tentang-wudhu-dan-sholat.htm

Penyakit Pikun karena Tidur Sehabis Shubuh

Jumat, 11 Februari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ww, pak ustadz saya pernah mendengar teman berceritaapakah benar tidur setelah shalat subuh akan membuat kita pikun ?? wassalam

Abu Yazid

Jawaban:

Walaaikumussalam Wr Wb

Tidak terdapat satu nash pun yang melarang seseorang tidur setelah shalat shubuh sehingga hukumnya adalah tetap seperti asalnya yaitu boleh.

Namun demikian diantara arahan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya bahwa apabila mereka menunaikan shalat shubuh maka mereka tetap duduk di tempat shalat mereka hingga terbit matahari, sebagaimana disebutkan didalam Shahih Muslim (1/463) no. 670 dari hadits Simak bin Harb katanya; aku berkata kepada Jabir bin Samurah; "Mungkin anda pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? Dia menjawab; "Ya, dan itu banyak kesempatan, Beliau shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah beranjak dari tempat shalatnya ketika subuh atau pagi hari hingga matahari terbit, jika matahari terbit, maka beliau beranjak pergi. Para sahabat seringkali bercerita-cerita dan berkisah-kisah semasa jahiliyahnya, lantas mereka pun tertawa, namun beliau hanya tersenyum."

Juga permintaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Tuhannya agar memberkahi umatnya di pagi hari mereka, sebagaimana terdapat didalam hadits dari Shakhr Al Ghamidi, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau mengucapkan: "ALLAAHUMMA BAARIK LI UMMATII FII BUKUURIHAA (Ya Allah, berkahilah umatku di pagi hari mereka). Dan beliau apabila mengirim expedisi atau pasukan beliau mengirim mereka di awal siang. Dan Shakhr adalah seorang pedagang dan ia mengirim perdagangannya di awal siang, maka hartanya bertambah banyak. Abu Daud berkata; ia adalah Shakhr bin Wada'ah. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah) Hadits ini dikuatkan oleh hadits Ali, Ibnu Umar, Ibn Abbas, Ibnu Mas’ud dan selain mereka.

Dari sini, sebagian ulama salaf memakruhkan tidur setelah shubuh. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan didalam “Mushannaf”nya 5/222 no. 25442 dengan sanad shahih dari Urwah bin az Zubeir bahwa dia berkata,”Zubeir dahulu melarang anaknya untuk tidur diwaktu pagi hari. Urwah berkata,’Sesungguhnya aku mendengar bahwa seeorang tidur di waktu pagi hari maka aku pun meninggalkannya.”

Ringkasnya bahwa yang lebih utama bagi seseorang adalah mengisi waktu ini dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akheratnya. Dan jika dia tidur di waktu itu untuk menguatkan dirinya dalam menunaikan pekerjaannya maka hal itu tidaklah mengapa terlebih lagi jika ia adalah orang yang diwaktu-waktu siangnya sulit sekali tidur kecuali di waktu ini (bada shubuh).

Ibnu Abi Syaibah didalam “Mushannaf”nya (5/223 No. 25454) meriwayatkan dari hadits Abi Yazid al Madini berkata,”Umar pernah mengunjungi Shuhaib di pagi hari lalu dia mendapatkanna sedang tidur dan ia pun duduk hingga Shuhaib terbangun. Shuhaib berkata,” Amirul Mukminin duduk diatas tempat duduknya sementara Shuhaib tidur diatas tempat tidurnya!” Umar pun berkata kepadanya,”Aku tidak suka agar engkau meninggalkan tidur yang menyertaimu.”

Adapun tidur setelah ashar maka ia juga boleh dan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang larangan tidur di waktu ini adalah tidak benar.
Adapun apa yang dinisbahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,”Tidur setelah ashar maka akan menghilangkan akalnya. Untuk itu tidak ada yang bisa disalahkan kecuali dirinya sendiri.” Ini adalah hadits batil yang tidak berasal dari Nabi saw. (Slilsilah adh Dhaifah No. 39). (Fatawa Islam Sual wa Jawab No. 2063)

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/shalat-sehabis-shubuh.htm

Hukum Salat Subuh Tidak Pada Waktunya

Rabu, 09 Februari 2011

0 komentar
Assalamu`alaikum Ustad.. Smg ustad selalu dlm lindungan Allah.

Saya seorang muslim yg terkadang tdk melakukan salat 5 wkt tepat pada waktunya. Dlm kesempatan ini saya ingin menanyakan tentang salat subuh. Saya sesekali bangun pagi pada pukul 07.00 atau 08.00 Wib yg mana matahari sudah terbit untuk menghangatkan bumi. Yang ingin saya tanyakan apakah boleh & sah saya salat subuh pada wkt tersebut? Apakah saya harus niat qada jika melaksanakan salat subuh pada wkt tsb? Dan bagaimana dgn waktu2 salat lainnya yg tdk dilaksanakan tepat waktu,apakah harus diniatkan qada jg?

Terima kasih atas penjelasannya ustad. Jazakallah..

Maulana

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Maulana yang dimuliakan Allah swt
Shalat yang merupakan ibadah pertama yang diwajibkan Allah swt adalah ibadah yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Ia adalah tiang agama, barangsiapa yang menegakkannya berarti orang itu telah menegakkan agama dan barangsiapa yang meninggalkannya berarti orang itu telah menghancurkan agamanya.

Shalat adalah yang pertama kali dihisab (dihitung) Allah swt pada hari perhitungan amal-amal manusia, sebagaimana diriwayatkan at Tirmidzi dari Abu Hurairah berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pada hari kiamat pertama kali yang akan Allah hisab atas amalan seorang hamba adalah shalatnya, jika shalatnya baik maka ia akan beruntung dan selamat, jika shalatnya rusak maka ia akan rugi dan tidak beruntung. Jika pada amalan fardlunya ada yang kurang maka Rabb 'azza wajalla berfirman: "Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang?" lalu setiap amal akan diperlakukan seperti itu."

Diantara dalil yang menerangkan kewajiban seorang muslim untuk melakukan shalat lima waktu pada waktu-waktu yang telah ditentukan Allah swt adalah :

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا

Artinya : “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisaa : 103)

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Qatadah bin Rib'iy mengabarkan kepadanya bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: " 'Sesungguhnya Aku mewajibkan umatmu shalat lima waktu, dan Aku berjanji bahwa barangsiapa yang menjaga waktu-waktunya pasti Aku akan memasukkannya ke dalam surga, dan barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak mendapatkan apa yang aku janjikan".

Dan tentang permasalahan anda yang sesekali melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau habis waktunya maka apabila yang menyebabkan anda bangun kesiangan adalah aktivitas-aktivitas yang mengandung maslahat syar’i; seperti : menuntut ilmu atau berbincang-bincang tentang ilmu, kemaslahatan kaum muslimin, berbincang-bincang dengan tamu yang anda perlukan atau hal-hal lain yang mengandung kemaslahatan maka anda tidaklah berdosa dan shalat yang anda lakukan tetap sah meskipun dianggap qadha. Kemudian berusahalah anda melaksanakan shalat-shalat shubuh berikutnya pada waktunya dan janganlah anda menjadi permainan setan yang menyebabkan anda kesiangan bangun.

Sedangkan jika yang menyebabkan anda kesiangan shalat shubuh adalah aktivitas-aktivitas yang tidak mengandung manfaat (maslahat) bagi anda maupun kaum muslimin atau perbuatan sia-sia maka anda termasuk orang yang menyia-nyiakan atau melalaikan shalat dan mendapatkan dosa meskipun shalat itu tetap harus dilakukan dan dianggap qadha. Kemudian diwajibkan bagi anda untuk bertaubat taubat nashuha dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Demikian pula terhadap shalat-shalat lainnya yang dilakukan diluar waktu-waktunya.
Wallahu A’lam

الجواب :
الحمد لله
1-إذا كنت استيقظت وقت صلاة الفجر ثم غلبتك نفسك فنمت وفي نيتك وعزمك أنك ستستيقظ بعد قليل _ قبل خروج الوقت _ ولكنك لم تستيقظ إلا بعد خروج الوقت ، فقم بأداء الصلاة مباشرة ، وكن حازما في المرّات القادمة ، فلا تجعل الشيطان يتلاعب بك ، ونسأaل الله لك المغفرة .
2-أما إذا كنت عازما على أن لا تؤدي الصلاة إلا بعد خروج وقتها _ أو كنت مترددا في ذلك _ فهذا الفعل هو الذي يكفر به صاحبه عند بعض أهل العلم .
فإذا كان صدر منك مثل هذا الفعل فتُب إلى الله من الآن ، واعقد العزم على أن لا تعود ، وصلّ الصلوات التي فاتتك إن كنت تعرف عددها ، والله يتوب على من تاب ، وهذه كفارة ذلك . والكلام عن صلاة العصر كالكلام عن صلاة الصبح تماما .

الشيخ سعد الحميد
http://www.islam-qa.com/ar/cat/2024

يعود إلى النوم إذا استيقظ دون أن يصلي
السؤال : حدث في مرات قليلة أن استيقظت من نومي وقت صلاة الفجر تماما أو قبل ذلك بقليل وعدت إلى النوم مرة أخرى . وكنت في مرتين أعي أنني استيقظت وقت صلاة الفجر إلا أني عدت ونمت. ثم سمعت بأن الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله قال بأن من يفعل ذلك الفعل يكون كافرا (مرتدا)، فهل هذا صحيح؟ وما هو الرأي الصحيح في هذه المسألة وفقا لأهل السنة والجماعة؟ (وإذا كان ذلك صحيح [الكفر أو الارتداد]، فماذا أفعل؟
سؤال آخر: إذا فاتتني صلاة العصر (خرج وقتها ولم أصليها)، فهل أكفر بذلك (مع أني ما أزال أصلي الصلوات الخمس المفروضة يوميا)؟ أنا أعلم أني أفقد جميع أعمالي الصالحة في اليوم وفقا لرواية في صحيح البخاري، لكني أطرح سؤالي أعلاه عليك، وأنا أظنك على الحق وعلى طريقة الرسول صلى الله عليه وسلم. وجزاك الله خيرا

Jadi apa yang anda lakukan dengan seringnya melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau setelah berlalu waktu shalat shubuh tanpa ada
Jadi apa yang anda lakukan dengan seringnya melaksanakan shalat shubuh setelah matahari terbit atau setelah berlalu waktu shalat shubuh tanpa adanya alasan-alasan yang dibenarkan syariat maka hal itu diharamkan dan termasuk didalam menyia-nyiakan atau melalaikan shalat karena itu diwajibkan bagi anda untuk bertaubat kepada Allah dan bertekad untuk tidak mengulanginya serta melaksanakan shalat-shalat fardhu diwaktu-waktunya.

Islam mengancam keras orang yang meninggalkan shalat lima waktu karena mengingkarinya maka orang itu adalah kafir dan keluar dari agama Islam, berdasarkan ijma para ulama.
Sementara para ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat dikarenakan malas atau meremehkannya ;

1. Para ulama Hanafi berpendapat bahwa orang itu adalah fasiq dan harus dipenjara serta dipukul dengan satu pukulan hingga mengalirkan darah sampai orang itu mau melaksanakan shalat dan bertaubat atau meninggal di penjara, begitu juga terhadap orang yang meninggalkan puasa ramadhan.
2. Para ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meniggalkan shalat tanpa suatu uzur walaupun dia hanya meninggalkan satu kali shalat maka orang itu diminta untuk bertaubat selama tiga hari seperti seorang yang murtad dan jika tidak mau bertaubat maka dibunuh.
3. Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh disebabkan pengingkarannya. Maka barangsiapa meninggalkan shalat dan tidak ada persyaratan untuk membebaskannya maka yang ada hanyalah dibolehkannya dibunuh, untuk itu tidak ada pembebasan bagi orang yang tidak menegakkan shalat.

Sementara DR Wahbah lebih cenderung kepada pendapat yang pertama yaitu bahwa orang seperti itu tidaklah dihukum dengan kafir, berdasarkan dalil-dalil qoth’i yang banyak dan juga orang itu tidaklah kekal di neraka setelah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengucapkan Laa Ilaha Illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah maka terpelihara harta dan darahnya dan perhitungannya ada pada Allah swt.” (HR. Muslim) juga sabda Rasulullah saw,”Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengatakan Laa Ilaha Illallah yang dihatinya masih ada kebaikan sebesar gandum. Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengatakan Laa Ilaha Illallah yang dihatinya masih ada kebaikan seberat atom.” (HR. Bukhori)

Islam juga melarang setiap muslim yang melaksanakan shalat-shalatnya namun ia melalaikan waktu-waktunya, sebagaimana firman Allah swt :

Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-salat-subuh-tidak-pada-waktunya.htm

Tata Cara Shalat Bagi Yang Masbuk

Senin, 07 Februari 2011

0 komentar
Assalamualaikum Wr. Wb.

Ustadz, ada beberapa pertanyaan dari saya mengenai tata cara shalat bagi yang masbuk.

1. Ketika kita tertinggal beberapa rakaat, setelah imam selesai salam kita menghitung rakaatnya mulai dari rakaat pertama atau melanjutkan sisa hitungan rakaatnya saja?
2. Ketika imam selesai salam, dan ada beberapa jamaah yang masbuk dalam satu shaf apakah langsung ada seorang yang menjadi imam dalam shaf tersebut, dan jamaah lainnya mengikuti imam yang baru? atau kita selaku makmum yang masbuk menggenapkan hitungan rakaatnya sendiri-sendiri?
3. Bagaimana caranya kita berimam pada orang yang masbuk?

Mohon maaf atas ketidaktahuan saya.

Wassalamualaikum wr. wb.

tholhah

Jawaban

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Tholhah yang dimuliakan Allah swt

Jika anda tertinggal satu atau beberapa rakaat di dalam shalat maka hendaklah anda langsung bergabung dan mengikuti rakaat imam kemudian diharuskan bagi anda menyempurnakan sisa rakaat anda setelah imam mengucapkan salam. Jadi rakaat yang didapati seorang masbuk bersama imam adalah rakaat pertama bagi shalatnya sedangkan rakaat yang dilakukan setelah imam mengucapkan salam adalah rakaat terakhirnya, berdasarkan Apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apa yang kalian dapatkan (raka'atnya) maka shalatlah, dan (raka'at) yang ketinggalan, maka sempurnakanlah."

Jika anda mendapati imam pada rakaat terakhir dari shalat maghrib maka bagi anda ini adalah rakaat pertama. Setelah imam mengucapkan salam maka hendaklah anda bangun dan melanjutkannya dengan rakaat kedua dengan membaca surat al fatihah dan beberapa ayat sedangkan pada rakaat ketiga cukuplah dengan hanya membaca al fatihah saja sebelum anda tutup shalat dengan salam setelah tasyahud akhir.

Jika anda mendapatkan imam pada rakaat kedua dari shalat maghrib maka setelah imam mengucapkan salam hendaklah anda bangun untuk mengerjakan rakaat ketiga dengan hanya membaca surat al fatihah saja sebelum anda mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam setelah tasyahud akhir.

Adapun pertanyaan kedua yaitu ketika terdapat beberapa orang masbuk maka yang paling utama mereka lakukan setelah imam mengucapkan salam adalah menyempurnakan shalat mereka sendiri-sendiri tidak menjadikan salah seorang dari mereka —sesama masbuk— sebagai imam karena sebenarnya mereka semua yang masbuk telah mendapatkan keutamaan pahala berjamaah. Sebagian besar ulama tidak memperbolehkan seorang yang masbuk menjadikan orang yang masbuk lainnya sebagai imamnya.

Sedang jawaban untuk pertanyaan ketiga telah saya singgung di atas.

Wallahu A’lam.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/tata-cara-shalat-bagi-yang-masbuk.htm

Hadist Riba

Minggu, 06 Februari 2011

0 komentar
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz, saya ingin tahu lebih jelas tentang hadist berikut ini :

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)

Bisa minta tolong dijelaskan arti secara menyeluruh dari hadist tersebut. Pada zaman sekarang siapa saja yang termasuk dalam pemakan riba, pemberi riba, penulis, dan saksinya?

Apa yang harus saya lakukan apabila saya termasuk dalam salah satunya? Pekerja yang mendapatkan gaji dari riba, apakah hukuman bagi dia? Sangat berterima kasih sebelumnya.

add

Jawaban

Wa'alaikumussalam Wr Wb

Riba berarti ziyadah (tambahan). Maksudnya tambahan atas modal, sedikit maupun banyak, sebagaimana dsebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 279)

Riba ini diharamkan oleh semua agama samawi, karena dianggap sesuatu yang membahayakan menurut agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Bahkan islam memandangnya sebagai salah satu dosa besar yang dapat membinasakan seseorang.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan". Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina"

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat pemakan riba, orang yang menyuruh makan riba, juru tulisnya dan saksi-saksinya." Dia berkata, "Mereka semua sama."

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan bahwa makna ‘pemakan riba adalah orang yang mengambilnya walaupun dirinya tidak memakannya. Sesungguhnya pengkhususan dengan kata-kata makan karena ia adalah jenis pemanfaatan yang paling besar.

Adapun makna orang yang menyuruh makan riba adalah yang orang yang memberikannya kepada orang yang mengambilnya. Sedangkan makna saksi dan penulis riba, menurut Imam Nawawi bahwa didalamnya terdapat ketegasan pengharaman penulisan antara dua orang yang bertransaksi riba dan penyaksian terhadap keduanya dan juga pengharaman terhadap pertolongan atau bantuan kepada kebatilan. (Aunul Ma’bud juz VII hal 2893)

Riba ini ada dua macam :

1. Riba Nasi’ah yaitu pertambahan bersyarat yang diterima oleh pemberi utang dari orang dari orang yang berutang karena penangguhan atas pembayaran. Jenis riba ini diharamkan menurut al Qur’an, Sunnah dan Ijma ulama.
2. Riba Fadhal yaitu jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan yang disertai tambahan. Jenis ini diharamkan karena termasuk perantara riba nasi’ah.

Imam Bukhori meriwayatkan dari Umar bin Khattab mengabarkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jual beli emas dengan emas adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), beras dengan beras adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), kurma dengan kurma adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan), gandum dengan gandum adalah riba' kecuali begini-begini (maksudnya secara kontan) ".

Terhadap orang yang melakukan praktek-praktek riba diatas maka diwajibkan baginya untuk segera bertaubat kepada Allah swt dan menghentikan segala bentuk yang termasuk didalam praktek ribawi. Diantara keharusan seorang yang bertaubat dari perbuatan riba adalah mencukupkan dirinya dengan modal pokok hartanya saja dan tidak mengambil tambahan (riba) darinya, sebagaimana disebutkan didalam firman Allah swt :

وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqarah [2] : 276)

Begitu juga terhadap seorang pekerja yang mendapatkan gaji dari riba atau bekerja di Bank Konvensional maka hendaklah dirinya mencari pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal. Akan tetapi jika dirinya melihat bahwa bekerja di tempat itu adalah sesuatu yang darurat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya maka dibolehkan baginya menerima gaji itu dengan hati yang tidak rela sambil tetap berusaha mencari alternatif pekerjaan lainnya yang lebih berkah dan halal.

Syeikh Yusuf al Qaradhawi di dalam bukunya “Fatwa-Fatwa Kontemporer” ketika ditanya tentang hukum bekerja di Bank Konvensional, beliau menjawab,”Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah yang menjadikan saudara penanya untuk menerima —tetap bekerja di bank— sebagai sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : “.....tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah [2] : 173)

Wallahu A’lam

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hadist-riba.htm

Shalat Dhuha Sesuai Sunnah

Jumat, 04 Februari 2011

0 komentar
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustazd yang dirahmati Allah.

Mohon bantuan Ustazd untuk menjelaskan tentang shalat dhuha, mulai dari waktunya (dari jam berapa sampai jam berapa), jumlah rakaat dalam pelaksanaannya (apakah 2 - 2 rakaat dg dua salam atau 4 rakaat 1 salam), dan doa-doanya. Hal ini saya tanyakan karena dari beberapa buku yang saya baca ada yang mengatakan waktunya dari 08.00 - 12.00 dan ada juga 08.00 - 10.00 dan ada juga yang melaksanakan di bawah jam 08.00 setelah shalat sunah shuruq. Kemudian apakah benar ada shalat sunah shuruq itu? Karena saya baru mendengar dan meliha dalam pelaksanaannya.

Demikian, terimakasih atas jawabannya. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan karunianya ke pada Ustazd. Amin....!

Wasalahmu'laikum wr. wb.

Yosfiah

Jawaban

Walalaikumussalam Wr Wb

SaUdara Yosfiah yang dirahmati Allah SWT

Waktu Shalat dhuha

Telah terjadi perbedaan dikalangan fuqaha didalam batasan shalat dhuha secara umum. Jumhur ulama berpendapat bahwa waktu shalat dhuha dimulai dari ketika matahari mulai meninggi hingga sedikit sebelum tergelincir selama belum masuk waktu yang dilarang.

Imam Nawawi didalam “ar Raudhah” mengatakan, "Para sahabat kami (madzhab Syafi’i) berpendapat, waktu shalat dhuha berawal dari terbit matahari dan dianjurkan agar mengakhirkannya hingga ia meninggi.”

Hal itu ditunjukkan oleh riwayat Imam Ahmad dari Abu Murrah ath Thoifi berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, janganlah kalian lemah dari melaksanakan empat rakaat dari permulaan siangmu yang akan mencukupkanmu di akhir siangnya."

Namun al Adzra’i berpendapat bahwa apa yang dinukil itu dari para sahabatnya (madzhab Syafi’i) itu tedapat catatan, yang terkenal dari pendapat pertama mereka “yaitu pendapat jumhur” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9730)

Dengan demikian waktu shalat dhuha dimulai kira-kira sejak maahari mulai naik kira-kira sepenggalah hingga sedikit sebelum masuknya waktu zhuhur atau sekitar 15 menit setelah waktu syuruq hingga 15 menit sebelum masuk waktu zhuhur.

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha

Adapun tentang rakaatnya maka tidak ada perbedaan dikalangan fuqaha yang mengatakan sunnahnya shalat dhuha berpendapat bahwa paling sedikit rakaat shalat dhuha adalah dua rakaat.

Diriwayatkan dari Abu Dzarr bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahi munkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha."

Namun terjadi perbedaan dikalangan mereka tentang maksimal rakaatnya :

Para ulama Maliki dan Hambali berpendapat bahwa maksimal rakaat shalat dhuha adalah delapan rakaat berdasarkan riwayat Ummu Hani’ bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah memasuki rumahnya pada saat penaklukan Makkah, kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam shalat delapan raka'at" seraya menjelaskan, "Aku belum pernah sekalipun melihat Beliau melaksanakan shalat yang lebih ringan dari pada saat itu, namun Beliau tetap menyempurnakan ruku' dan sujudnya."

Para ulama Maliki ini juga menegaskan makruh melebihkan dari delapan rakaat jika seseorang meniatkan shalat dhuha bukan niat sunnah mutlak. Mereka juga menyebutkan bahwa yang paling moderat dari shalat dhuha adalah enam rakaat.

Sedangkan para ulama Hanafi dan Syafi’i —pendapat yang marjuh— serta Ahmad —dalam satu riwayat darinya— bahwa maksimal dari shalat dhuhah adalah dua belas rakaat, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi dan an Nasa’I dengan sanadnya yang didalamnya terdapat kelemahan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Barangsiapa yang melaksanakan shalat dhuha sebanyak dua belas rakaat maka Allah (akan) membangunkan baginya istana dari emas di surga.” Ibnu Abidin menukil dari “Syarh al Maniyah” dan menegaskan bahwa hadits lemah bisa diamalkan didalam perkara-perkara keutamaan.

Al Hashkafi dari kalangan Hanafi menukil dari ‘adz Dzakha’ir al Asyraqiyah” menyebutkan bahwa yang moderat adalah delapan rakaat dan inilah yang paling utama, berdasarkan perbuatan dan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedangkan tentang maksimalnya hanyalah melalui perkataaan beliau shallallahu 'alaihi wasallam saja.

Adapun dikalangan para ulama Syafi’i telah terjadi perbedaan didalam berbagai ungkapan mereka tentang maksimal rakaat shalat dhuha. Imam Nawawi didalam “al Minhaj” menyebutkan bahwa maksimalnya adalah dua belas rakaat sementara dia menyalahinya didalam kitab “Syarh al Muhadzab”, dia menyebutkan dari kebanyakan ulama bahwa maksimal adalah delapan rakaat. Beliau menyebutkan juga didalam “Raudhah ath Thalibin” bahwa yang paling utama adalah delapan rakaat sedangkan maksimalnya adalah dua belas rakaat dengan mengucapkan salam di setiap dua rakaat.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9730 – 9731)

Doa Khusus Pada Shalat Dhuha

Tidak ada doa-doa khusus pada shala dhuha. Dibolehkan bagi setiap muslim untuk berdoa dengan doa-doa yang dikehendakinya selama tidak ada dosa didalamnya dan memutuskan silaturahim baik doa-doa yang matsur dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam atau doa-doa yang mudah bagi dirinya. Akan tetapi doa yang matsur lebih utama jika ia hafal. (Markaz al Fatwa No. 65406)

Shalat Isyraq

Para ulama menyamakan antara shalat isyraq dengan shalat dhuha. Meksipun ada yang sedikit membedakan diantara keduanya yaitu jika shalat itu dikerjakan diawal waktu yaitu ketika matahari mulai terangkat kira-kira sepenggalah maka ia disebut shalat isyraq sedangkan jika dikerjakan di tengah-tengah atau akhir waktu maka ia disebut shalat dhuha.

Wallahu A’lam

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/sifat-shalat-dhuha-sesuai-sunah.htm

Hukum Menjatuhkan Talak Dalam Keadaan Marah

Kamis, 03 Februari 2011

0 komentar
Tanya : bagaimana hukumnya suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah? Apakah jatuh talaknya?

Jawab : Menurut Wahbah Zuhaili marah (ghadhab) ada dua. Pertama, marah biasa yang tak sampai menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, marah yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau marah sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343).

Para fuqaha sepakat jika suami menjatuhkan talak dalam keadaan marah yang sangat (kategori kedua), talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf karena hilang akalnya (za`il al-aql), seperti orang tidur atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum. Dalilnya sabda Nabi SAW,”Diangkat pena (taklif) dari umatku tiga golongan : anak kecil hingga baligh, orang tidur hingga bangun, dan orang gila hingga waras.” (HR Abu Dawud no 4398). (Ibnul Qayyim, Zadul Ma’ad, 5/215; Sayyid Al-Bakri, I’anah al-Thalibin, 4/5; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 9/343; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 29/9).

Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai talak yang diucapkan dalam keadaan marah biasa (thalaq al-ghadbaan). Pertama, menurut ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali, talak seperti itu tak jatuh. Kedua, menurut ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i, talaknya jatuh. (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 19; Ibnul Qayyim, Ighatsatul Lahfan fi Hukm Thalaq al-Ghadban, hal. 61).

Pendapat pertama antara lain berdalil dengan hadits Aisyah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Tak ada talak dan pembebasan budak dalam keadaan marah (laa thalaqa wa laa ‘ataqa fi ighlaq).” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah). (Musthofa Al-‘Adawi, Ahkam Al-Thalaq fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 61).

Pendapat kedua antara lain berdalil dengan riwayat Mujahid, bahwa Ibnu Abbas RA didatangi seorang lelaki yang berkata, ”Saya telah menjatuhkan talak tiga kali pada istriku dalam keadaan marah.” Ibnu Abbas menjawab, ”Aku tak bisa menghalalkan untukmu apa yang diharamkan Allah. Kamu telah mendurhakai Allah dan istrimu telah haram bagimu.” (HR Daruquthni, 4/34). (Hani Abdullah Jubair, Thalaq al-Mukrah wa al-Ghadbaan, hal. 24).

Menurut kami, yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua, yakni talak oleh suami dalam keadaan marah tetap jatuh talaknya. Alasannya, hadits Aisyah RA meski menyebut talak orang yang marah tak jatuh, tapi yang dimaksud sebenarnya bukan sekadar marah (marah biasa), melainkan marah yang sangat. Imam Syaukani menukilkan perkataan Ibnu Sayyid, bahwa kalau marah dalam hadits itu diartikan marah biasa, tentu tidak tepat. Sebab mana ada suami yang menjatuhkan talak tanpa marah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1335).

Kesimpulannya, suami yang menjatuhkan talak dalam keadaan marah dianggap tetap jatuh talaknya. Sebab kondisi marah tidak memengaruhi keabsahannya tasharruf (tindakan hukum) yang dilakukannya, termasuk mengucapkan talak. Kecuali jika kemarahannya mencapai derajat marah yang sangat, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu a’lam.(Ust. Siddiq al Jawie)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/11/23/hukum-menjatuhkan-talak-dalam-keadaan-marah/

Lebih Afdhol Berdoa Sendiri Atau Ikut Imam

Selasa, 01 Februari 2011

0 komentar
Assalamu'alaykum wr. wb.

Kepada yth. ustad Sigit,saya mau menanyakan tentang berdoa setelah melaksanakan sholat berjamaah, manakah yang lebih afdhol, berdoa sendiri sendiri atau mengikuti imam? Dan apakah ada hadist shahih tentang hal ini. Mohon penjelasannya,jazakallahu khairan.

yadi

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam kepada Muadz bin Jabal,”Janganlah kamu melupakan untuk mengucapkan di ‘dubur’ setiap shalat : "ALLAAHUMMA A'INNII 'ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI 'IBAADATIK" (Ya Allah, bantulah aku untuk berdzikir dan bersyukur kepadaMu serta beribadah kepadaMu dengan baik.).” (HR. Ahmad, Abu Daud dan an Nasai)

Para ahli ilmu berbeda pendapat tentang maksud dari dubur shalat didalam hadits tersebut atau hadits-hadits doa lainnya yang semisal. Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud dari doa di situ adalah setelah mengucakan salam (selesai) shalat.

Sementara itu sebagian ulama lainnya, termasuk didalamnya Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa maksud dari “dubur shalat” adalah di akhir shalat sebelum salam, pendapat ini didukung dengan hal-hal berikut :

1. Bahwa kalimat “dubur” kebanyakan digunakan untuk bagian dari sesuatu. Dubur hewan adalah bagian darinya begitu juga dengan dubur shalat.
2. Terdapat riwayat bahwa diantara perbuatan Nabi shallallahu wa'alaihi wa sallam setelah shalat tidaklah melakukan doa didalamnya akan tetapi berupa istighfar, tahlil dan tasbih atau dzikir-dzikir lainnya.
3. Bahwa berdoa didalam ibadah lebih utama daripada diluar ibadah.

Sedangkan berdoa secara bersama-sama yang dipimpin oleh imam atau seseorang dari jamaah yang kemudian di”amin”kan oleh para jamaah lainnya maka tidaklah ada riwayat bahwa Nabi shallallahu wa'alaihi wa sallam, para khulafaur rasyidin atau seorang sahabat pun yang melakukan hal demikian dan sebaik-baik petunjuk adalah Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam.

Dengan demikian berdoa sendiri setelah melaksanakan shalat adalah lebih baik daripada berdoa secara berjamaah dengan dipimpin imam atau seorang dari jamaah karena berdoa sendiri setelah shalat adalah perkara yang masih diperselisihkan sedangkan berdoa berjamaah adalah perkara yang tidak ada contohnya dari Rasulullah dan para sahabat.

Wallahu A’lam

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/mana-yg-lebih-afdol-berdoa-sendiri-atau-ikut-imam-setelah-selesai-melaksanakan-sholat-berjamaah.htm