Apakah Ada Rasul Setelah Nabi Muhammad?

Minggu, 30 Januari 2011

0 komentar
Assalamu 'alaikum ustadz

Saya tidak sengaja melihat halaman di facebook tentang seseorang yang mengaku sebagai rasul sejak 2007. yang menjadi pertanyaan saya:

1. menurut dia nabi Muhammad adalah penutup para nabi alias nabi terakhir, tapi bukan penutup para rasul, jadi masih ada kemungkinan rasul akan muncul lagi setelah nabi Muhammad saw. karena tidak semua rasul adalah nabi. dan dia mengaku tidak membawa ajaran baru, hanya meluruskan ajaran Quran. apa benar penutup rasul tidak ada?
2. menurut dia di dalam Quran salat itu cuma ada tiga, yaitu fajar, wusta, dan isya. dan gerakannya pun cuma tiga, yaitu berdiri, berlutut (bukan rukuk atau membungkuk), dan sujud. dan pengucapan allahu akbar salah, yang benar adalah al kabir karena akbar artinya lebih besar, bukan maha besar. apa benar demikian?

sebenarnya masih banyak yang ingin saya tanyakan tapi segitu aja dulu takut kebanyakan.

Terima kasih ustadz.

wassalamu 'alaikum

AZIZ

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Aziz yang dimuliakan Allah swt

Semoga Allah swt senantiasa menjaga umat ini dari finah para pendusta yang mengaku dirinya seorang Nabi setelah datangnya penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam Penutup Para Nabi dan Rasul

Sesungguhnya kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan diutusnya Nabi dan Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil al Qur’an dan Sunnah.

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾

Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna firman Allah diatas seperti firman-Nya pula :

اللّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ

Artinya : “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al An’am : 124)

Ayat ini merupakan sebuah nash bahwa tidak ada Nabi setelahnya. Dan jika tidak ada Nabi setelahnya maka tidak ada Rasul (pula) setelahnya menjadi lebih utama karena kedudukan kerasulan lebih khusus daripada kedudukan kenabian, karena sesungguhnya setiap Rasul adalah Nabi bukan sebaliknya.

Dalam hal ini terdapat beberapa hadits yang mutawatir dari sekelompok sahabat, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari At Thufail bin Ubay bin Ka'b dari Bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Perumpamaanku dari para Nabi adalah seperti seorang lelaki yang membangun rumah, dia memperindahnya dan melengkapinya, namun dia meninggalkan satu tempat sebesar batu bata dan dia tidak meletakkannya, maka orang-orang berkeliling mengitari bangunan dengan terkagum kagum sambil mengatakan, 'seandainya tempat batu bata ini sempurna', maka saya dari para Nabi itu seperti tempat batu bata itu.". Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Bundar dari Abi Amir al Al Aqadi, dan beliua (Tirmidzi) mengatakan,”Hasan Shahih” (Tafsir al Quran al Azhim juz VI hal 428)

Perintah Shalat Lima Waktu di Dalam Al Qur’an

Sesungguhnya perintah melaksanakan shalat lima waktu telah disinggung Allah swt didalam al Qur’an, didalam firman-Nya :

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا ﴿٧٨﴾

Artinya : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra : 78)

Ibnu Katsir menyebutkan bahwa didalam ayat ini terdapat waktu-waktu shalat yang lima waktu, yaitu didalam firman-Nya :

لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ

(dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam) yaitu gelapnya, ada juga yang mengatakan tenggelamnya matahari dan termasuk didalamnya adalah zhuhur, ashar, maghrib dan isya.

Sedangkan firman-Nya :

إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

adalah shalat fajar.

Gerakan-Gerakan Shalat

Diwajibkan bagi setiap muslim untuk menjadikan As Sunnah sebagai referensi keduanya setelah Al Qur’an. Hal itu dikarenakan tidak seluruh permasalahan bisa didapat didalam Al Qur’an, karena itu diperlukan Sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menjelaskan perkara-perkara yang secara global disebutkan didalam al Qur’an maupun menerangkan suatu permasalahan yang tidak disebutkan didalamnya.

Termasuk dalam hal ini adalah perintah Allah swt untuk berdirilah (menegakkan) shalat dan didalam ayat lain Allah swt menyinggungnya dengan firman-Nya : ruku’ dan sujud.

Namun demikian dibutuhkan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ini sebagai tuntunan dan penjelasan tentang gerakan-gerakan shalat yang sebenarnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Abu Malik Al Asy'ari mengumpulkan kaumnya lalu berkata: Hai sekalian kaum Asy'ari! Berkumpullah, kumpulkan istri-istri dan anak-anak kalian, aku akan mengajarkan kepada kalian shalatnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang beliau lakukan di Madinah.

Mereka pun berkumpul, mengumpulkan istri-istri dan anak-anak mereka, Abu Malik Al Asy'ari berwudhu dan memperlihatkan kepada mereka bagaimana caranya berwudhu, ia menyempurnakan wudhu hingga ke tempat-tempatnya hingga usai, ia pun berdiri lalu mengumandangkan adzan, kaum lelaki pun berbaris dalam shaf yang dekat, anak-anak berbaris dibelakang mereka dan kaum wanita berbaris dibelakang anak-anak. Shalat pun diiqamati. Ia maju kemudian mengangkat kedua tangan seraya bertakbir, ia membaca faatihatul kitaab dan surat yang dibaca pelan, selanjutnya ia bertakbir ruku' dan membaca: Subhaanallaah wa bihamdihi sebanyak tiga kali, setelah itu mengucapkan: Sami'allaahu liman hamidah dan berdiri lurus, setelah itu ia bertakbir dan turun sujud, selanjutnya bertakbir dan mengangkat kepala, setelah itu bertakbir lalu sujud, lalu bertakbir dan berdiri, ia bertakbir sebanyak enam kali dalam rakaat pertama, ia bertakbir saat berdiri untuk rakaat kedua. Seusai shalat ia menghadap ke kaumnya lalu berkata: Hafalkan takbirku, pelajarilah ruku'ku dan sujudku karena itulah shalat Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam yang beliau kerjakan untuk kami seperti itu saat di siang hari.

Abu Daud juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, bertakbirlah, kemudian bacalah ayat Al Qur'an yang mudah bagimu, lalu ruku'lah hingga kamu benar-benar (tenang) dalam posisi ruku', setelah itu bangkitlah sampai berdiri lurus kembali, kemudian sujudlah hingga benar-benar dalam posisi sujud, lalu duduklah hingga benar-benar dalam posisi duduk, lalu sujud kembali hingga benar-benar sujud, kemudian lakukanlah hal itu di setiap shalatmu."

Makna Kalimat “Allahu Akbar”

Pada hadits-hadits diatas disebutkan bahwa disyariatkan bertakbir untuk berpindah dari satu gerakan kepada gerakan lainnya didalam shalat kecuali ketika seorang berdiri dari ruku dengan mengucapkan Sami'allaahu liman hamidah.

Adapun kalimat takbir yang dimaksud juga dijelaskan pada hadits yang sama, yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Hurairah—diatas-- selanjutnya dia melanjutkan seperti hadits di atas, lalu dia berkata; "Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang sehingga dia berwudlu' yaitu membasuh anggota wudlu'nya (dengan sempurna) kemudian bertakbir, memuji Allah Jalla wa 'Azza, menyanjung-Nya dan membaca AL Qur'an yang mudah baginya. Setelah itu mengucapkan Allahu Akbar, kemudian ruku' sampai tenang semua persendiannya, lalu mengucapkan "Sami'allahu liman hamidah" sampai berdiri lurus, kemudian mengucapkan Allahu Akbar, lalu sujud sehingga semua persendiannya tenang. Setelah itu mengangkat kepalanya sambil bertakbir. Apabila dia telah mengerjakan seperti demikian, maka shalatnya menjadi sempurna."

Dengan demikian ucapan takbir—sebagaimana disebutkan didalam hadits itu adalah—Allahu Akbar artinya Allah Maha Besar bukan Allah Kabir yang berarti Allah Yang Besar. Karena Makna dari Akbar sebagaimana makna kata-kata yang mengambil pola ini, seperti : Asghor (Paling Kecil), Awsa’ (Paling Luas), Adhyaq (Paling Sempit) dan lainnya berarti tidak ada lagi sesuatu yang melebihinya. Adapun jika yang dimaksud dengan lebih besar dari adalah jika kata-kata diatas diikuti dengan huruf min sebagai perbandingan terhadap sesuatu lainnya, seperti disebutkan didalam firman-Nya :

وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ

Artinya : “Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (QS. Al Baqarah : 217)

Atau firman-Nya :

وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا

Artinya : “Dan dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". (QS. Al Baqarah : 219)

Wallahu A’lam

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/penutup-para-rasul-tidak-ada.htm

Parfum Beralkohol, Najiskah?

Jumat, 28 Januari 2011

0 komentar
Tanya :

apa hukumnya menggunakan parfum yang beralkohol?

Jawab :

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya menggunakan parfum beralkohol. Sebagian ulama tidak membolehkan karena menganggap alkohol najis. Sedang sebagian lainnya membolehkan, karena tak menganggapnya najis. Perbedaan pendapat tentang kenajisan alkohol berpangkal pada perbedaan pendapat tentang khamr, apakah ia najis atau tidak.

Khamr itu sendiri menurut istilah syar’i adalah setiap minuman yang memabukkan. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hal. 25). Di masa kini lalu diketahui, unsur yang memabukkan itu adalah alkohol (etanol, C2H5OH). Maka dalam istilah teknis kimia, khamr didefinisikan sebagai setiap minuman yang mengandung alkohol (etanol) baik kadarnya sedikit maupun banyak. (Abu Malik Al-Dhumairi, Fathul Ghafur fi Isti’mal Al-Kuhul Ma’a al-‘Uthur, hal. 13).

Menurut jumhur fuqaha, seperti Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, Ahmad, dan Ibnu Taimiyah, khamr itu najis. Namun menurut sebagian ulama, seperti Rabi’ah Al-Ra`yi, Imam Laits bin Sa’ad, dan Imam Muzani, khamr itu tak najis. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1/260 & 7/427; Imam Al-Qurthubi, Ahkamul Qur`an, 3/52; Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, 1/18).

Ulama yang menganggap khamr najis berdalil dengan ayat (artinya),“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji (rijsun) termasuk perbuatan syaitan.” (QS Al-Ma`idah : 90). Ayat ini menunjukan kenajisan khamr, karena Allah SWT menyebut khamr sebagai rijsun, yang berarti najis. (Wahbah Zuhaili, ibid., 7/427)

Namun ulama yang menganggap khamr tak najis membantah pendapat tersebut. Mereka berkata rijsun dalam ayat tersebut artinya adalah najis secara maknawi, bukan najis secara hakiki. Artinya khamr tetap dianggap zat suci, bukan najis, meskipun memang haram untuk diminum. (Tafsir Al-Manar, 58/7; Imam Shan’ani, Subulus Salam, 1/36; Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, 1/19).

Adapun menurut kami, yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa khamr itu najis. Dalilnya memang bukan QS Al-Ma`idah : 90, dalam panci-panci mereka dan meminum khamr dalam bejana-bejana mereka.” Nabi SAW menjawab, “Jika kamu dapati wadah lainnya, makan makan dan minumlah dengannya. Jika tidak kamu dapati wadah lainnya, cucilah wadah-wadah mereka dengan air dan gunakan untuk makan dan minum.” (HR Ahmad & Abu Dawud, dengan isnad shahih). (Subulus Salam, 1/33; Nailul Authar, hal. 62).

Hadits di atas menunjukkan kenajisan khamr, sebab tidaklah Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci wadah mereka dengan air, kecuali karena khamr itu najis. Ini diperkuat dengan riwayat Ad-Daruquthni, bahwa Nabi SAW bersabda,”maka cucilah wadah-wadah mereka dengan air karena air itu akan menyucikannya.” (farhadhuuhaa bil-maa`i fa-inna al-maa`a thahuuruhaa) (Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Shalah, 1/45).

Kesimpulannya, alkohol (etanol) itu najis karena mengikuti kenajisan khamr. Maka, parfum beralkohol tidak boleh digunakan karena najis. Wallahu a’lam. (ustadz siddiq al jawie; mediaumat.com)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2011/01/12/parfum-beralkohol-najiskah/

Hukum Jual Beli Mata Uang Asing

Kamis, 27 Januari 2011

0 komentar
Tanya :

Ustadz, mohon dijelaskan hukum jual beli mata uang asing.

Mila Andriyani, Palembang

Jawab :

Jual beli mata uang dalam fiqih kontemporer disebut dengan istilah tijarah an-naqd atau al-ittijaar bi al-‘umlat. Dalam kitab-kitab fiqih disebut al-sharf (pertukaran uang, currency exchange). Definisi al-sharf menurut Abdurrahman al-Maliki adalah pertukaran harta dengan harta yang berupa emas atau perak, baik dengan sesama jenisnya dengan kuantitas yang sama, maupun dengan jenis yang berbeda dengan kuantitas yang sama ataupun tidak sama. Karena mata uang sekarang dianggap sama dengan emas dan perak, maka Rawwas Qa’ahjie mendefinisikannya secara umum, yaitu pertukaran uang dengan uang. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 114 & 125; Ali As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 432; Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hal. 85 & 208).

Hukum jual beli mata uang mubah selama memenuhi syarat-syaratnya. Jika yang dijualbelikan sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan dolar AS), syaratnya dua. Pertama, harus ada kesamaan kuantitas, yakni harus sama nilainya. Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh) di majelis akad. Jadi harus kontan dan tak boleh ada penundaan serah terima. Adapun jika yang dijualbelikan tak sejenis (misal rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu, yaitu dilakukan secara kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, 2/155; Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).

Dalilnya antara lain sabda Rasulullah SAW, “Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).

Hadits ini menunjukkan jika yang dipertukarkan masih satu jenis (misal emas dengan emas), syaratnya dua; Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi) dalam hal berat atau takarannya. Kedua, harus ada serah terima (taqabudh) di majelis akad, yakni secara kontan. Namun jika yang dipertukarkan tak satu jenis (misal emas dengan perak), boleh ada kelebihan atau tambahan, dan syaratnya hanya satu, yaitu dilakukan secara kontan.

Hadits di atas walaupun menjelaskan pertukaran emas dan perak, namun hukumnya berlaku pula untuk mata uang saat ini. Ini karena sifat yang ada emas dan perak saat itu, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat pada mata uang saat ini (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264).

Maka jual beli mata uang asing hukumnya boleh selama memenuhi syarat-syaratnya. Jika tidak memenuhi syaratnya, hukumnya haram. Misal menukar rupiah dengan dolar AS, tapi serah terimanya ditunda pada tanggal tertentu beberapa hari mendatang. Walaupun disepakati, hukumnya tetap haram, baik yang ditunda rupiahnya, dolarnya, atau kedua-duanya. (Ali As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 426). Wallahu a’lam. (ustadz siddiq aljawie/mediaumat.com)

Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2010/12/30/hukum-jual-beli-mata-uang-asing/

Doa dan Amalan untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal

Selasa, 25 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamualaikum Warohmatuloh Wabarokatuh.

ustadz sigit yang dirahmati Allah SWT

Ayah saya sudah meninggal 2 tahun lalu karena sakit.

sebelumnya beliau sakit stroke selama 2 tahun tidak bisa shalat dan puasa, kami sudah mencoba menuntunnya utk sholat tp beliau hanya mampu sebentar saja. Kami selalu menjaga dan merawatnya , namun pada saat akhir hayatnya kami sedang tertidur karena lelah , dan beliau meninggal tidak ada yang menemani dan tidak ada yang menuntunnya menyebut asma Allah. Saya sangat menyesal,

Apa yang dapat saya lakukan untuk menebus rasa penyesalan saya ini, doa apa dan amalan apa yang dapat saya berikan untuk membantu ayah saya selama di alam kubur hingga hari perhitungan nanti.

Karena saya merasa apa yg saya lakukanselama merawat beliau belum cukup untuk membalas jasa 2x beliau kepada saya.

Jazakumullah , Ustadz

Wassalamualaikum wrwb

Yanti Sayekti

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr Wb

Semoga Allah swt mengampuni segala dosa ayah anda, merahmatinya, memaafkan kesalahan-kesalahannya, memuliakan kedudukannya, melapangkan kuburnya dan memasukkannya bersama orang-orang shaleh di surga-Nya.

Berbakti kepada orang tua menempati posisi yang tinggi didalam islam. Hal itu ditunjukkan dengan perintah berbuat baik kepadanya mengikuti perintah beribadah hanya kepada Allah swt saja, seperti disebutkan didalam firman-Nya.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا


Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al Isra : 23)

Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya dilakukan ketika dia masih hidup akan tetapi juga setelah dia meninggal dunia. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Usaid Malik bin Rabi'ah As Sa'idi ia berkata, "Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba ada seorang laki-laki dari bani Salamah datang kepada beliau.

Laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah masih ada ruang untuk aku berbuat baik kepada kedua orang tuaku setelah mereka meninggal?" beliau menjawab: "Ya. Mendoakan dan memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan wasiatnya, menyambung jalinan silaturahim mereka dan memuliakan teman mereka." Meskipun hadits ini lemah namun dalam hal ini bisa diamalkan.

Beberapa perbuatan baik yang bisa dilakukan terhadap orang tua yang telah meninggal dunia, diantaranya :

1. Mendoakan dan memohonkan ampunan baginya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah 'azza wajalla akan mengangkat derajat seorang hamba yang shalih di surga, hamba itu kemudian berkata; 'Wahai Rabb, dari mana semua ini? ' maka Allah berfirman; 'Dari istighfar anakmu.'"

Diantara bentuk-bentuk doa dan permohonan ampunan tersebut adalah :

ROBBIGH FIRLI WA LIWALIDAYYA

رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ


Artinya : “Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku.” (QS. Nuh : 28)

ROBBIRHAMHUMA KAMAA ROBBAYANI SHOGHIRO

وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا


Artinya : “Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al Isra : 24)

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari dari Jubair bin Nufair ia mendengarnya berkata, saya mendengar Auf bin Malik berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menshalatkan jenazah, dan saya hafal do'a yang beliau ucapkan: "ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA 'AAFIHI WA'FU 'ANHU WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI' MUDKHALAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARADI WA NAQQIHI MINAL KHATHAAYAA KAMAA NAQQAITATS TSAUBAL ABYADLA MINAD DANASI WA ABDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARIHI WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHI WA ADKHILHUL JANNATA WA A'IDZHU MIN 'ADZAABIL QABRI AU MIN 'ADZAABIN NAAR

(Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia, muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnyak, bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan gantilah rumahnya -di dunia- dengan rumah yang lebih baik -di akhirat- serta gantilah keluarganya -di dunia- dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangan di dunia dengan yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka)." Hingga saya berangan seandainya saya saja yang menjadi mayit itu.

2. Melaksanakan wasiatnya selama wasiat tersebut tidak memerintahkan kemaksiatan terhadap Allah swt dan tidak bertentangan dengan hukum syariat, sebagaimana firman Allah swt :

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ


Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Baqoroh : 180)

Imam Bukhori meriwayatkan dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat adalah haq (kewajiban) selama tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat maksiat maka tidak ada (kewajiban) untuk mendengar dan taat".

3. Menghubungkan tali silaturahim orang tua anda yang telah meninggal serta berbuat baik kepada tema-teman dan kerabatnya.

Imam Muslim meriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya kebajikan yang utama ialah apabila seseorang melanjutkan hubungan (silaturrahim) dengan keluarga sahabat baik ayahnya."
Didalam hadits ini terdapat keutamaan menghubungkan silaturahim kawan-kawan ayah yang telah meninggal, berbuat baik dan memuliakan mereka.

4. Bersedekah atas namannya

Kaum muslimin telah bersepakat bahwa sedekah mengatasnamakan orang yang sudah meninggal maka hal itu akan sampai kepadanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dari 'Aisyah bahwa ada seorang laki-laki berkata, kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: "Ibuku meninggal dunia dengan mendadak, dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bersedekah. Apakah dia akan memperoleh pahala jika aku bersedekah untuknya (atas namanya)?". Beliau menjawab: "Ya, benar".

Walahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/doa-untuk-orang-tua-yg-sdh-meninggal.htm

Hukum Nikah Bagi Orang Pengidap Penyakit Menular

Minggu, 23 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ada masalah yang ingin saya tanyakan ustadz. Saya pernah mendengar sebuah hadits atau ayat al-Qur'an (saya lupa) yang bunyinya kurang lebih, "pernikahan yang bisa atau akan menyakiti pasangannya maka haram hukumnya." Pernyataan itulah yang selalu membuat saya ragu dan bingung untuk menikah karena setahun yang lalu ketika saya cek darah di laboratorium RS ternyata saya mengidap penyakit Hepatitis B yang bisa menular melalui cairan tubuh (darah, air liur, keringat, dll yang terinfeksi virus tersebut).

Setiap kali saya memutuskan untuk menikah selalu saja terpikirkan, "kalau nanti saya menikah maka bisa menularkan penyakit itu ke pasangan (bahkan ke anak) yang berarti bisa menyakitinya dan haram hukumnya."

Mohon penjelasan dan pencerahaan ustadz tentang kondisi saya ini menurut aturan agama. Apakah jika nanti saya menikah, haram atau tidak? Saya tidak mau melakukan dosa karena ketidaktahuan saya kalau nanti saya menikah.

Terima kasih, wassalamu'alaikum wr. wb.

***sensor***

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr Wb

Seorang muslim dianjurkan untuk menjauhi apa-apa yang membawa mudharat kepada dirinya sendiri atau memudharatkan orang lain. Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.” Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat."

Namun demikian dibolehkan bagi seorang yang mengidap penyakit menular seperti penderita Hepatititis B untuk menikah dengan syarat dirinya harus menceritakan dan menjelaskan perihal penyakit tersebut kepada wanita yang akan dinikahinya dan juga kepada walinya dan tidak menutup-nutupinya karena hal ini termasuk penipuan yang dilarang Rasulullah saw.

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.”

Jika si wanita itu ridho dan menerima keadaan tersebut maka dibolehkan baginya untuk menikah dengannya. Hendaklah kelak —setelah menikah— mereka berdua senantiasa bekerja sama untuk berobat karena sesungguhnya Allah menurunkan penyakit bersama dengan obatnya kecuali kematian dan tua.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, maka akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah 'azza wajalla."

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/hukum-nikah-bagi-orang-pengidap-penyakit-menular.htm

Hukum Shalat Tahiyatul Masjid Ketika Khutbah Jumat

Kamis, 20 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

apa hukumnya sholat tahyatul masjid selagi khotib membacakan khodbahnya, bukankan sholat jum'at itu terdiri dari 2 hotbah dan 2 rekaat sholat

Mahyudin Fikri

Jawaban:

Waalaikumussala Wr Wb

Saudara Mahudin Fikri yang dirahmati Allah swt

Imam Muslim meriwayatkan bahwa Sulaik Al Ghathafani datang pada hari Jum'at, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkhutbah, ia pun duduk, maka beliau pun bertanya padanya: "Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka'at, kerjakanlah dengan ringan." Kemudian beliau bersabda: "Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum'at, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at dengan ringan." Terdapat beberapa riwayat dalam hal ini.

Imam Nawawi mengatakan didalam “Syarh Muslim” (6/164) : Hadits-hadits ini seluruhnya sangat jelas menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Ishaq dan para fuqaha ahli hadits bahwa jika seseorang memasuki suatu masjid jami pada hari jum’at sedangkan imam sedangkan berkhutbah maka dianjurkan untuk melaksanakan dua rakaat shalat tahiyat masjid dan dimakruhkan untuk segera duduk sebelum melaksanakan shalat dua rakaat tersebut. Dianjurkan pula untuk meringankan kedua rakaat tersebut agar dapat mendengarkan khutbah setelahnya, pendapat ini juga berasal dari Hasan Bashri dan selainnya dari para ulama terdahulu.

Al Qodhi mengatakan,”Malik, Laits, Abu Hanifah, Tsauriy dan jumhur salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in mengatakan,’Tidak perlu melaksanakan shalat dua rakaat.” Demikian diriwayatkan dari Umar, Utsman dan Ali ra. Argumentasi mereka adalah perintah untuk mendengarkan imam. Mereka menta’wilkan hadits-hadits ini bahwa dia—yaitu Sulaik—dalam keadaan tidak berpakaian lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya untuk berdiri agar orang-orang melihatnya dan memberikan sedekah mereka kepadanya. Ini adalah takwil batil yang dibantah oleh kejelasan sabdanya shallallahu 'alaihi wasallam,” Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum'at, sedangkan Imam sedang berkhutbah, maka hendaklah ia shalat dua raka'at dengan ringan.” Ini adalah nash yang tidak membutuhkan takwil apa pun karena ia bersifat umum dan tidak hanya dikhususkan bagi Sulaik saja dan aku tidak yakin ada seorang alim yang sampai kepadanya lafazh yang shahih ini lalu menentangnya.

Kemudian Nawawi mengatakan,”Didalam hadits-hadits ini juga dibolehkan berbicara disaat khutbah jika hal itu dibutuhkan, dalam hal ini dibolehkan bagi khotib dan yang lainnya, didalamnya terdapat seruan kepada kebaikan dan anjuran untuk kemaslahatan didalam setiap keadaan dan tempat, didalamnya disebutkan shalat tahiyat masjid adalah dua rakaat, dan shalat-shalat sunnah di siang hari adalah dua rakaat dan shalat tahiyat masjid tidaklah hilang dikarenakan duduk bagi orang yang tidak mengetahui hukumnya. Para sahabat kami—madzhab Syafi’i—hilangnya tahiyat masjid dengan duduk adalah terhadap orang yang mengetahui bahwa ia adalah sunnah sedangkan terhadap orang yang jahil (tidak mengetahui) maka hendaklah dia mengerjakannya berdasarkan kedekatan hadits ini.

Dari hadits-hadits ini bisa didapat bahwa tahiyat masjid tidak ditinggalkan pada waktu-waktu yang dilarang shalat didalamnya karena ia termasuk shalat yang memiliki sebab yang dibolehkan di setiap waktu, dari sini maka hal demikian juga berlaku bagi setiap shalat yang memiliki sebab, seperti : mengqodho shalat. Seandainya shalat itu hilang dalam suatu keadaan maka keadaan seperti ini lebih utama lagi dimana dia diperintahkan untuk mendengarkan khutbah.

Tatkala orang itu dibiarkan mendengarkan khutbah lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memutus khutbahnya dan memerintahkan orang itu setelah dia duduk agar melaksanakannya (shalat tahiat masjid) dan duduknya orang itu adalah duduk orang yang tidak mengetahui hukumnya. Ini adalah dalil yang menguatkan bahwa shalat tahiyat masjid tidaklah ditinggalkan dalam keadaan apa pun dan pada waktu apa pun.”

Para ulama baik klasik maupun kontemporer telah membahas tentang tema ini. Dan kita telah mengetahui dari pembahasan diatas bahwa hal ini termasuk permasalahan khilafiyah. Sehingga tidak seharusnya fanatik dengan satu pendapat yang masih diperselisihkan. Barangsiapa yang melaksanakan shalat tahiyat masjid sebelum dirinya duduk sedangkan imam dalam keadaan berkhutbah maka ia tidaklah berdosa, demikian barangsiapa yang masuk masjid lalu duduk dan tidak melaksanakan shalat tahiyat masjid maka ia juga tidak berdosa dan barangsiapa yang duduk tidak melaksanakan shalat kemudian dia bangun lalu melaksanakan shalat tahiyat masjid disaat imam berkhutbah diakarenakan dia termasuk orang yang tidak mengetahuinya tentang itu maka hendaklah diberitahu dengan penuh kelembutan tidak dengan kekerasan. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 496)

Pelaksanaan shalat jum’at terdiri dari dua khutbah dan dua rakaat shalat. Pelaksanaan dua khutbah dalam shalat jum’at didasari pada kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, demikian menurut pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/sholat-thayatul-masjid.htm

Hukum Chatting dengan Non Mahram

Senin, 17 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Pak Ustad yang terhormat

Apa hukumnya chatting (ngobrol online) dengan lawan jenis yg bukan mahram? Apakah boleh, tidak baik atau malah diharamkan? Tolong dijelaskan

Terimakasih,

Rachman A.

rachman

Jawaban:

Walaikumusalam Wr Wb

Saudara Rahman yang dirahmati Allah swt

Apabila chatting diantara mereka berdua sesuai dengan patokan-patokan syariah maka hal itu tidaklah masalah. Patokan-patokan itu adalah ;

1. Chatting itu berisi tentang menampakkan yang hak (kebenaran) dan memabatalkan yang batil.

2. Chatting itu berisi tentang pengajaran ilmu, firman Allah swt :

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya : “Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (dishahihkan al Albani dari Anas, Ali dan Abi Said radhiyallahu anhum)

3. Kedua orang yang berbincang-bincang itu tidaklah mengeluarkan obrolannya itu dari area adab-adab islam didalam penggunaan lafazh-lafazh, memilih ungkapan-ungkapan yang tidak meragukan dan tidak kotor yang dibenci sebagaimana yang banyak digunakan oleh para pengumbar hawa nafsu.

4. Chatting itu bukan yang membawa kemudharatan bagi islam dan kaum musliimin akan tetapi justru yang dapat memberikan bantuan bagi mereka untuk belajar agama mereka melalui saluran baru sebagaimana orang-orang kafir membelanjakan waktu-waktu mereka untuk penyebaran kebatilan. Sesungguhnya seorang muslim membelanjakan setiap potensinya dijalan penyebaran keutamaan, kebaikan dan kebenaran.

5. Hendaklah antara kedua orang yang melakukan chatting itu bisa dipercaya untuk tetap berada diatas kebenaran dan tidaklah salah satu dari keduanya memenangkan dirinya karena hal itu dapat mengaburkan berbagai hakikat dan menunggangi hawa nafsu, naudzu billah itu semua tergolong dalam kejahatan jiwa amaroh bissuu’ (jiwa yang menyuruh kepada kejahatan)

6. Hendaklah obrolan itu di ruang public yang bisa diikuti pula oleh banyak orang yang lain dan obrolan itu bukanlah obrolan khusus antara seorang pria dan wanita yang tidak disaksikan oleh selain mereka berdua karena ini termasuk salah satu pintu fitnah. Dan jika patokan-patokann tersebut terpenuhi meskipun tidak disaksikan dan ia bukanlah pembicaraan langsung maka tidaklah mengapa meski yang paling utama adalah tidak melakukannya sebagai sebuah tindakan preventif karena terkadang perbuatan itu bisa menjerumuskan seseorang kedala perbuatan yang diharamkan. Sesungguhnya setan mengalir di tubuh anusia lewat aliran darah. (Markaz al Fatw No. 1759)

Dengan demikian jika chatting dilakukan diantara dua orang berlainan jenis yang bukan mahramnya tidak memenuhi patokan-patokan syar’i diatas maka hendaklah dihindari karena hal itu bisa menjerumuskannya kepada perbuatan yang diharamkan.

Tidak jarang bermula dari sebatas orbolan biasa, kemudian menjadi obrolan yang bersifat pribadi hingga lebih pribadi lagi (berpacaran) tidak terkecuali apakah dia seorang yang masih bujangan atau telah menikah hingga terjadi perselingkuhan dan perzinahan—naudzu billah—dan setan pun tertawa lebar-lebar.

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/chatting-dengan-nonmahram.htm

Batasan Waktu Safar

Sabtu, 15 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Ada 2 hal yang saya tanyakan Ustad :

1. Apakah ada batasan waktu safar misalnya saja waktu pulang kampung kadang sampai 2 minggu apakah kita tetap disebut safar dan tetap bisa menjamak sholat kita, bahkan ada yang berpendapat kalau kita pergi ke suatu tempat terus kita mengontrak rumah dalam jangka waktu lama 1 tahun misalnya tetap dianggap safar.
2. Besar mana pahalanya antara kita mengambil kemudahan waktu kita safardengan tetap menjalankan ibadah misalnya tidak berpuasa Romadhon pada waktu perjalanan kemudian mengodonyaatau tetap menjalankan ibadah puasa.

Demikian terima kasih atas pencerahannya.

Yoko

Taryaka

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Yoko yang dimuliakan Allah swt

Lamanya Waktu Dibolehkan Mengqashar Shalat

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang yang melakukan perjalanan (safar) dalam rangka ketaatan kepada Allah swt, seperti : berdakwah, haji, umrah, jihad di jalan-Nya, menyambung tali silaturahim atau pun safar yang bersifat mubah, seperti : mencari rezeki, bisnis dan jarak yang ditempuhnya itu mencapai 4 burud yang setara dengan 83 km maka dibolehkan baginya untuk menjama’ (menggabungkan) dan mengqashar (meringkas) shalat-shalatnya selama safarnya itu.
Firman Allah swt :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ

Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).” (QS. An Nisaa : 101)

Imam Malik didalam kitabnya “al Muwattho” meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkendara menuju Dzatin Nushub. Lalu ia mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut." Malik berkata, "Jarak Dzatin Nushub dan Madinah sekitar empat Burud."

Hak menjama’ dan mengqashar shalat bagi seorang musafir itu selama orang itu tidak berniat menetap di tempat tujuannya itu walaupun hingga bertahun-tahun. Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hak menjama’ dan mengqashar itu bagi orang yang berniat menetap di tempat tujuannya itu :

Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa dibolehkan bagi seorang yang bersafar untuk terus mengqashar shalatnya selama dia tidak berniat untuk menetap di negeri itu selama 15 hari. Apabila dia berniat untuk menetap selama 15 hari atau lebih (di sana) maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan (tidak menjama’ dan tidak mengqashar) shalat-shalatnya.

Para ulama madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa jika seorang musafir berniat untuk menetap selama 4 hari atau lebih maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya itu meskipun terjadi perbedaan diantara mereka tentang perhitungan hari masuk dan hari keluar (dari negeri itu)

Sebagian ulama dari ahli hadits dan para ulama kontemporer berpendapat dibolehkan bagi seorang musafir mengqashar shalat-shalatnya selama dia menetap di suatu negeri hingga bertahun-tahun selama dia tidak berniat menjadikan negeri itu adalah negeri tempat tinggalnya. Mereka membolehkan—misalnya—seorang mahasiswa untuk mengqashar shalat-shalatnya selama dia berada di negeri tempat belajarnya itu selama dia masih berniat untuk kembali ke negeri asalnya.

Sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya selama dirinya tidak berniat menetap secara mutlak karena Nabi shallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya menetap di Mekah kurang lebih 20 hari dan selama itu mereka mengqashar shalat. Mereka juga menetap di Mekah selama 10 hari dan selama itu mereka tidak berpuasa ramadhan.

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia butuh menetap di sana lebih dari 4 hari. Anas berkata bahwa para sahabat menetap di Ram Harmuz selama 9 bulan dan selama itu mereka mengqasahar shalat, diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan sanad hasan.

Dari keempat pendapat tersebut maka untuk kehati-hatian adalah berpegang dengan pendapat jumhur ulama, yaitu Syafi’i, Malik dan Ahmad yang menyatakan bahwa barangsiapa yang berniat tinggal (menetap) di suatu negeri lebih dari empat hari maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya tanpa menjama’ dan mengqasharnya.

Dengan demikian jika anda melakukan bepergian ke tempat yang sudah mencapai jarak safar serta berniat untuk menetap di sana selam 2 pekan maka diwajibkan bagi anda untuk menyempurnakan shalat-shalat anda.

Demikian pula bagi seorang yang mengontrak rumah di daerah yang sudah mencapai jarak safar dari daerah asalnya dengan niat menetap di sana hinga satu tahun maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya kecuali jika orang itu mengontrak rumah di daerah itu karena ada satu keperluan yang dia tidak bisa memprediksikan berapa lama keperluannya itu selesai, hari-harinya selama itu adalah berusaha menyelesaikan atau menunggu urusannya itu selesai dan ternyata keperluannya itu baru selesai setelah dia tinggal di kontrakannya itu selama setahun maka selama itu pula—sejak dirinya tinggal di kontrakannya hingga selesai urusannya—diperbolehkan baginya menjama’ dan mengqasahar shalatnya, demikian menurut pendapat jumhur ulama.

Berbuka Puasa atau Meneruskannya di Saat Safar

Jumhur ulama sahabat, salaf dan imam yang empat membolehkan berpuasa disaat seseorang melakukan perjalanan (safar) dan menyatakan bahwa puasanya itu sah. Namun mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, berpuasa ataukah berbuka ataukah kedua-duanya sama ?

Para ulama Hanafi, Maliki dan Syafi’i dan ini juga satu pendapat dari Hambali bahwa puasa lebih utama jika puasanya itu tidak menjadikannya mengalami kepayahan. Bahkan para ulama Hanafi dan Syafi’i menegaskan bahwa hal itu sunnah.

Al Ghazali mengatakan bahwa puasa lebih dicintai daripada berbuka disaat safar karena itu adalah menunaikan kewajiban kecuali apabila didalamnya terdapat kemudharatan baginya.

Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS. Al Baqoroh : 183)

Ayat-ayat tersebut (2 : 183 – 185) menunjukkan bahwa puasa adalah azimah (keharusan) sedangkan berbuka adalah rukhshah (keringanan) dan tidaklah diragukan bahwa azimah lebih utama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd,”Selama ia adalah rukhshah maka meninggalkannya adalah lebih utama.” Juga hadits Abu Darda’ yang menyebutkan bahwa Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadlan saat terik matahari…… Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah."

Sementara itu madzhab Hambali berpendapat bahwa berbuka disaat safar lebih utama, bahkan al Kharaqi mengatakan,”Seorang musafir diaanjurkan untuk berbuka.” Al Mardawi mengatakan bahwa inilah pendapat madzhab (Hambali)

Didalam kitab “Al Iqna” disebutkan bahwa seorang musafir yang melakukan safar mencapai jarak dibolehkannya mengqashar (shalat) disunnahkan baginya berbuka dan dimakruhkan baginya berpuasa selama dirinya tidak mendapatkan kepayahan, demikianlah pendapat para ulama (madzhab Hambali). Terdapat pula nash darinya yang menyebutkan bahwa sama apakah terdapat kepayahan atau tidak, inilah madzhab Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta Said, asy Sya’bi dan al Auza’i.

Mereka berdalil dengan hadits Jabir,”Bukanlah bagian dari kabajikan berpuasa disaat safar.” Terdapat tambahan didalam riwayat,”Hendaklah kalian mengambil keringanan yang Allah berikan kepada kalian, terimalah keringanan tersebut."

Imam Nawawi dan al Kamal bin al Hammam berkata bahwa hadits-hadits yang menunjukkan tentang keutamaan berbuka diperuntukan bagi orang yang mengalami kemudharatan dengan berpuasa, dan di sebagian (riwaat) lainnya terdapat kejelasan hal itu oleh karena itu mesti ditakwil dengan menggabungkan hadits-hadits dan hal ini lebih utama daripada mengabaikan sebagiannya atau menganggapnya dimansukh tanpa adanya dalil yang qoth’i.

Sedangkan mereka yang menyamakan diantara puasa dan berbuka berdalil dengan hadits Aisyah bahwa Hamzah bin 'Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? Dia adalah orang yang banyak berpuasa. Maka Beliau menjawab: "Jika kamu mau berpuasalah dan jika kamu mau berbukalah". (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9948 – 9949)

Dengan demikian yang paling utama—insya Allah juga yang paling besar pahalanya—bagi seorang yang melakukan perjalanan (safar) adalah berpuasa jika dirinya memiliki kesanggupan serta tidak merasakan adanya kemudharatan atau kepayahan didalam berpuasanya itu kecuali jika dirinya mengalami kepayahan maka hendaklah dia berbuka.

اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/batasan-waktu-safar.htm

Susunan Shaf dalam sholat

Rabu, 12 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assaamu'alaikum Wrwb, Ustadz saya ingin menanyakan sebenarnya bagaimana susunan shaf dalam sholat berjamaah menurut tuntunan Rasullullah SAW, terutama untuk laki-laki pada shaf kedua dan seterusnya, apakah shaf dimulai dari tengah atau dari sebelah kanan.

Juga benarkah jika seseorang yang sholat berjamaah pada shaf kedua sendirian, sholatnya tidak sah. Tolong dijelaskan beserta gambarnya kalo bisa. Terima kasih

karno

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Karno yang dimuliakan Allah swt

Dari Mana Memulai Shaf ?

Dianjurkan bagi para jamaah untuk meluruskan shafnya didalam shalat, tidak sebagiannya lebih maju dari sebagian lainnya (bengkok) dan tidak meninggalkan celah didalamnya. Dianjurkan pula bagi seorang imam untuk mengingatkan jamaahnya sebelum shalat ditegakkan dengan megatakan, diantaranya :

« سوّوا صفوفكم فإنّ تسوية الصّفّ من تمام الصّلاة »

Artinya : “Luruskanlah shaf-shaf kalian maka sesungguhnya lurusnya barisan adalah diantara kesempurnaan menegakkan shalat."

Bagian dari kelurusan shaf jamaah shalat adalah mengisi penuh terlebih dahulu shaf pertama baru kemudian shaf kedua, mengisi penuh shaf kedua baru kemudian shaf ketiga begitu seterusnya dan tidak mengisi shaf kedua sementara shaf pertama masih kosong, berdasarkan apa yang driwayatkan oleh Abu Daud dari dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sempurnakanlah shaf yang pertama, kemudian yang berikutnya. Kalaupun ada shaf yang kurang, maka hendaklah dia di shaf belakang."

Adapun shaf dalam shalat dimulai dari belakang imam (tengah) baru kemudian mengisi sebelah kanan dan kirinya hingga seimbang antara bagian kiri dan kanan hingga shaf tersebut penuh baru kemudian membuat shaf dibelakangnya dengan cara yang sama dengan diatas.

Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah shaf."

Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda Hendaklah yang tepat di belakangku orang yang dewasa yang memiliki kecerdasan dan orang yang sudah berakal di antara kalian, kemudian orang yang sesudah mereka kemudian orang yang sesudah mereka'.

Pemilik kitab “Aunul Ma’bud” mengatakan jadikanlah imam kalian berada ditengah-tengah dan berdirilah kalian pada shaf-shaf dibelakangnya lalu sebelah kanan dan kirinya.

Hukum Orang Yang Shalat Sendirian DIbelakang Shaf

Shalat sendirian dibelakang shaf tanpa adanya uzur tetaplah sah namun makruh dan kemakruhannya itu hilang jika terdapat uzur, demikianlah pendapat jumhur fuqaha : para ulama Hanafi dan Syafi’i menguatkan pendapat itu berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Bakrah bahwa dia pernah mendapati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang rukuk, maka dia pun ikut rukuk sebelum sampai ke dalam barisan shaf. Kemudian dia menceritakan kejadian tersebut kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Semoga Allah menambah semangat kepadamu, namun jangan diulang kembali."

Sementara itu para ulama Maliki berpendapat boleh shalat sendirian dibelakang shaf, ini adalah nash Khalil : al Mawaq menukil dari Ibnu Rusyd bahwa barangsiapa yang shalat dan membiarkan tempat kosong yang ada di shaf maka sungguh dia telah melakukan keburukan. Dia berkata bahwa yang masyhur adalah dia melakukan keburukan namun tidak perlu mengulang shalatnya.

Para ulama Hambali berpendapat bahwa tidak sah shalat orang yang sendirian satu rakaat penuh dibelakang shaf tanpa adanya uzur, berdasarkan hadit Wabishah bin Ma’bad bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat seorang laki-laki melaksanakan shalat sendirian dibelakang shaf maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya untuk mengulang (shalatnya).” (HR. Tirmidzi. Dia berkata,”Hadits hasan.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)

Jumhur ulama berkata bahwa dari hadits Abi Bakrah itu tidaklah ada keharusan baginya mengulang shalat. Sedangkan perintah mengulang didalam hadits Wabishah bin Ma’bad adalah sebuah anjuran, demikianlah penggabungan antara dua dalil diatas.

Adapun penjelasan tentang cara seorang makmum menghindari shalat sendirian dibelakang shaf adalah sebagai berikut :

Barangsiapa memasuki masjid sementara sudah ada jamaah dan jika dia mendapatkan celah (tempat kosong) pada shaf terakhir maka hendaklah dia berdiri di tempat yang kosong itu. dan jika dia medapatkan tempat kosong pada shaf yang ada di depan maka hendaklah dia menerobos shaf-shaf yang ada untuk sampai kepada tempat kosong itu
Dan barangsiapa yang tidak mendapatkan tempat kosong di shaf manapun maka telah terjadi perbedaan para fuqaha tentang apa yang seharusnya dilakukan olehnya pada saat itu :

Para ulama Hanafi megatakan,”Seyogyanya dia menunggu orang memasuki masjid untuk membentuk shaf bersamanya. Jika dia tidak mendapatkan seorang pun dan khawatir kehilangan rakaat maka hendaklah dia menarik seseorang yang telah diketahui ilmu adan akhlaknya dari shaf untuk berada bersamanya. Jika dia tidak mendapatkan orang yang seperti itu maka hendaklah dia berdiri di belakang shaf sejajar dengan imam tanpa ada kemakruhan dalam hal ini dikarenakan adanya uzur, demikianlah menurut al Kasani didalam Bada’i as Shana’i.

Para ulama Maliki berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak memungkinkan baginya masuk ke dalam shaf maka shalatlah sendirian tanpa menarik seorang pun dari shaf. Jika dia menarik seseorang maka hendaklah orang yang ditariknya tidak perlu menaatinya.

Pendapat para ulama Syafi’i yang benar adalah barangsiapa yang tidak mendapatkan tempat kosong dan tidak juga kelapangan maka dianjurkan baginya untuk menarik seseorang dari shaf untuk membuat shaf dengannya akan tetapi hendaklah dia memperhatikan bahwa orang yang ditarik itu mau untuk menyepakatinya dan jika tidak maka janganlah dia menarik seseorang demi menghindari fitnah.

Jika dia menarik seseorang maka dianjurkan bagi orang yang ditarik itu untuk membantunya demi mendapatkan keutamaan memberikan bantuan dalam kebaikan dan ketakwaan.

Para ulama Hambali berpendapat bahwa barangsiapa yang tidak mendapatkan satu tempat didalam shaf maka berdirilah disebelah kanan imam jika mungkin. Jika berdiri di sebelah kanan imam tidak memungkinkan baginya maka hendaklah dia mengingatkan seseorang dari shaf untuk berdiri bersamanya.

Pemberian peringatan itu bisa dengan ucapan atau berdehem atau isyarat dan hendaklah orang yang diberi peringatan itu menurutinya. Secara lahiriyah hal itu adalah wajib karena merupakan bagian dari bab suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya. Akan tetapi dimakruhkan baginya memberikan peringatan dengan menariknya, hal ini tidak disukai Imam Ahmad, Ishaq dikarenakan ia bisa memalingkannya tanpa seizinnya.

Namun Ibnu Qudamah didalam al Mughni membolehkan penarikan itu dalam perkataannya,”Karena keadaanlah yang menuntut hal demikian, maka ia dibolehkan seperti halnya sujud diatas punggungnya atau kakinya tatkala keadaannya penuh sesak.

Dan ini bukanlah memalingkannya akan tetapi hanyalah sebuah pemberian peringatan untuk keluar (dari shafnya, pen) dan shalat bersamanya. Terdapat hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,”Dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian.” Akan tetapi jika orang itu tidak mau keluar bersamanya maka janganlah dirinya memaksanya dan shalatlah sendirian dibelakang shaf).

Dan hadits : ,”Dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, nash itu digunakan Imam Nawawi didalam kitabnya “al Majmu’” –(Markaz al Fatwa No. 14806)
Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/susunan-shaf-dalam-sholat.htm

Puasa Hari Kelahiran

Selasa, 11 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan

Assalamualaikum Wr, Wb

Pak Ustad, saya pernah mendengar bahwa puasa pada hari kelahiran itu bagus, apalagi yang lahir pada hari Jum'at yang katanya agak berat tentang peruntungannya misalnya karir, jodoh dll. Apakah itu benar Pak Ustad? Apakah ada di dalam ajaran Islam?

Jika benar lalu bagaimana jika dia hari Jum'at? Sedangkan yang saya tahu Puasa Sunah 1 hari pada hari Jum'at tidak boleh, apakah harus dibarengi dengan puasa hari kamis/sabtu? Mohon penyelasannya.

Terima kasih, mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan.

Wassalamualaikum Wr. Wb

ierma

Jawaban

Asalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar kalau Rasulullah SAW sering berpuasa sunnah di hari Senin. Dan salah satu alasannya adalah karena hari itu adalah hari di mana beliau dilahirkan ke muka bumi.

Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab, "Itu hari kelahiranku dan diturunkan wahyu." (HR Muslim dan Ahmad)

Namun apakah hal yang sama juga berlaku buat umatnya, yakni disunnahkan berpuasa di hari kelahiran, tentu menjadi perdebatan panjang para ulama.

Mengingat Rasulullah SAW adalah pembawa risalah resmi dari Allah SWT. Ketika beliau melakukan ritual ibadah, alasan yang beliau kemukakan tentu sangat terkait dengan diri beliau sendiri.

Artinya, kalau beliau SAW sering berpuasa di hari Senin karena beliau lahir di hari itu, lantas puasa sunnah disyariat di hari itu, maka kesimpulan hukumnya adalah kita disyariatkan untuk berpuasa di hari kelahiran beliau, bukan di hari kelahiran kita sendiri.

Sebab yang lahir di hari Senin itu bukan seorang Muhammad sebagai seorang anak dari manusia, melainkan yang lahir adalah seorang utusan Allah. Maka kita berpuasa di hari kelahiran seorang utusan Allah, bukan di hari kelahiran diri kita sendiri.

Apalagi hadits di atas masih diteruskan bahwa di hari Senin itu turun wahyu. Berarti topik hadits itu adalah keutamaan hari Senin, bukan keutamaan hari kelahiran tiap manusia.

Apa utamanya jika kita berpuasa di hari kelahiran kita sendiri? Apa istimewanya diri kita sehingga ada syariat di mana kita disunnahkan untuk berpuasa di hari kelahiran diri sendiri?

Dan kalau kita menengok praktek para shahabat nabi yang mulia, kita tidak menemukan bahwa mereka masing-masing sibuk berpuasa di hari kelahiran mereka. Yang mereka lakukan adalah berpuasa di hari kelahiran nabi Muhammad SAW, yaitu hari Senin.

Di sinilah fungsi para shahabat, yaitu untuk dijadikan perbandingan dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kita memang diharuskan mengikuti sunnah RAsulullah SAW, namun terkadang kita sering kali salah duga dan salah kira. Maka praktek para shahabat nabi SAW bisa dijadikan guide pembanding, seperti apakah seharusnya ibadah yang kita lakukan dalam rangka mengikuti nabi Muhammad SAW? Maka kita lihat praktek para shahabat nabi SAW.

Karena itu, beliau SAW pun tidak lupa untuk memerintahkan kita untuk selain mengikuti praktek nabi, juga mengikuti praktek ibadah dari para shahabatnya itu.

Puasa di Hari Jumat

Puasa sunnah hanya pada hari jumat haram hukumnya, yaitu bila tanpa didahului dengan hari sebelum atau sesudahnya.

Kecuali ada kaitannya dengan puasa sunnah lainnya seperti puasa sunah nabi Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Maka bila jatuh hari Jumat giliran untuk puasa, boleh berpuasa. Sebagian ulama tidak sampai mengharamkannya secara mutlak, namun hanya sampai makruh saja.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Sumber: http://warnaislam.com/syariah/makanan/2010/12/6/3180/Puasa_Hari_Kelahiran.htm

Waktu Shalat Dhuha dan Tahajjud

Sabtu, 08 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr. wb.

Mau tanya ustadz,shalat dhuha itu bisa dimulai dari waktu apa dan berakhir pada waktu apa? Kalau tepatnya kira-kira jam berapa ya ustadz? Jika shalat isya dilakukan jam 2 setelah itu langsung solat tahajjud bolehkah ustadz? syukran jazakallah khair.

Hamba ALLAH

Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.

Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat dhuha adalah sunnah, sementara para ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa ia sunnah muakkadah. Hal itu didasari apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Dzarr dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, "Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma'ruf nahyi mungkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha."

Juga apa yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata,"Kekasihku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) telah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang tidak akan pernah aku tinggalkan hingga aku meninggal dunia, yaitu shaum tiga hari pada setiap bulan, shalat Dhuha dan tidur dengan shalat witir terlebih dahulu."

Adapun waktu pelaksanaan shalat dhuha maka menurut jumhur ulama adalah dari matahari mulai meninggi kira-kira sepenggalah hingga sedikit menjelang masuknya waktu zhuhur, yaitu dimulai sekitar 15 menit setelah waktu syuruq hingga sekitar 15 menit sebelum masuknya waktu zhuhur.

Untuk pertanyaan anda yang kedua tentang hukum melaksanakan shalat tahajjud atau qiyamullail setelah melaksanakan shalat isya pada pukul 02.00 maka hal itu dibolehkan karena tidak ada persyaratan sahnya qiyamullail adalah mesti tidur terlebih dahulu, demikian menurut DR. Husamuddin ‘Afanah, dosen Fakulta Ushul Fiqh, Universitas al Quds.

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/waktu-solat-dhuha-dan-tahajud.htm

Berbicara Saat Berwudhu

Rabu, 05 Januari 2011

0 komentar
Pertanyaan:

Assalamualaikum Ustadz yang insya Alloh dimuliakan Allah..

Saya mau menanyakan hukum berbicara di saat kita sedang berwudhu. Apakah wudhu kita batal atau tidak? Mohon penjelasannya ustadz, jazakallah.

Maulana

Jawaban:

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Saudara Maulana yang dimuliakan Allah swt

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa berbicara dengan orang tanpa adanya suatu keperluan disaat berwudhu adalah bertentangan dengan keutamaan. Akan tetapi jika terdapat suatu keperluan untuk dibicarakan karena jika tidak dibicarakan —saat berwudhu— dikhawatirkan hilang kesempatannya maka hal itu tidaklah termasuk kedalam meninggalkan adab.

Sementara itu para ulama Maliki berpendapat makruh berbicara disaat berwudhu selain daripada dzikrullah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 12756)

Namun demikian berbicara disaat berwudhu tidaklah membatalkan wudhu orang tersebut meskipun perbuatan itu termasuk yang dimakruhkan karena bertentangan dengan keutamaan.

Wallahu A’lam

Sigit Pranowo, Lc.

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/berbicara-saat-berwudhu.htm

Bentuk Busana Muslimah Yang Benar

Minggu, 02 Januari 2011

0 komentar
Assalamualaikum wr wb

ustadz Sigit yang dirahmati Allah,

Saya ingin menanyakan tentang bentuk busana muslimah yang benar, apakah harus berbentuk baju kurung atau tetap benar jika bentuknya terputus (baju dan rok tapi lebar). Karena saya pernah mendengar pembahasan mengenai pakaian wanita yang benar hanya yang model baju kurung dan jika bentuknya terputus tidak memenuhi perintah syar`i.

terima kasih.

yulia

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Yuliat yang dimuliakan Allah SWT.

Dibolehkan bagi seorang wanita muslimah mengenakan pakaian atas-bawah (baju dan rok lebar) selama pakaian itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat.
Diantara syarat-syarat itu adalah :

1. Hendaknya pakaian itu menutupi seluruh tubuhnya dari kaum lelaki yang bukan mahramnya. Dan janganlah dia memperlihatkan anggota-anggota tubuhnya kepada mahramnya kecuali bagian-bagian yang dibolehkan oleh syariat, seperti wajah, kedua telpak tangan dan kedua pergelangan kakinya.
2. Hendaknya pakaian itu tidak tipis (transparan) sehingga warna kulitnya dapat terlihat oleh orang dibelakangnya.
3. Pakaian itu tidak sempit sehingga menampakkan bentuk-bentuk anggota tubuhnya.
4. Pakaian itu tidak menyerupai pakaian kaum lelaki.
5. Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian itu yang dapat mengundang perhatian orang-orang ketika dirinya keluar dari rumah. (Markaz al Fatwa No. 0428).

Wallahu A’lam

Sumber: http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/bentuk-busaba-muslimah-yang-benar.htm